Kiai Hamid lahir pada tahun 1333 H (bertepatan dengan 1914 atau 1915 M) di Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Tepatnya di dukuh Sumurkepel, desa Sumbergirang. Sebuah pedukuhan yang terletak di tengah kota kecamatan Lasem. Begitu lahir, bayi itu diberi nama Abdul Mu’thi. Itulah nama kecil beliau hingga remaja, sebelum berganti menjadi Abdul Hamid.
Abdul Mu’thi kecil biasa dipanggil “Dul” saja. Tapi, seringkali panggilan ini diplesetkan menjadi “Bedudul” karena kenakalannya.
Mu’thi memang tumbuh sebagai anak yang lincah, extrovert, dan nakal. “Nakalnya luar biasa,” tutur KH. Hasan Abdillah Glenmore, adik sepupu beliau. Tapi nakalnya Mu’thi tidak seperti anak-anak sekarang: yang sampai mabuk-mabukan atau melakukan perbuatan asusila. Nakalnya Mu’thi adalah kenakalan bocah yang masih dalam batas wajar, tapi untuk ukuran anak seorang kiai dipandang “luar biasa”. Sebab, sehari-hari dia jarang di rumah. Hobinya adalah bermain sepak bola dan layang-layang. Beliau bisa disebut bolamania alias gila sepak bola, dan ayahandanya tak bisa membendung hobi ini. Karena banyak bermain, ngajinya otomatis kurang teratur walaupun bukan ditinggalkan sama sekali. Dia mengaji kepada KH. Ma’shum (ayahanda KH. Ali Ma’shum Jogjakarta) dan KH. Baidhawi, dua “pentolan” ulama Lasem.
Senin, 17 Mei 2010
Minggu, 16 Mei 2010
IBRAHIM BAPAK TAUHID UMAT MANUSIA
PELAJARAN DARI RIWAYAT IBRAHIM
Walaupun orang Yahudi mengaku sebagai pelopor kafilah
penganut tauhid, riwayat ini tak masyhur di kalangan
mereka dan tidak beroleh tempat dalam Taurat yang ada
sekarang. Di antara kitab-kitab Ilahi, hanya Al-Qur'an
yang telah meriwayatkannya. Oleh karena itu, kami
sebutkan di bawah ini beberapa pokok yang mengandung
pelajaran bagi manusia, suatu hal yang memang merupakan
tujuan pokok Al-Qur'an ketika meriwayatkan sejarah
berbagai nabi.
1. Riwayat ini merupakan bukti yang jelas tentang
keberanian dan keperkasaan yang luar biasa dari kekasih
Allah (Ibrahim) ini. Tekadnya untuk menghancurkan
manifestasi dan sarana kemusyrikan tak dapat
disembunyikan dari rakyat Namrud. Dengan celaan dan
kecamannya, beliau telah menyatakan perlawanan dan
kebenciannya yang luar biasa terhadap penyembahan
berhala secara sangat nyata. Beliau mengatakan secara
terbuka dan jelas, "Apabila kamu tidak berhenti dari
praktek yang memalukan itu, aku akan membuat keputusan
tentang mereka." Dan pada hari kepergian orang-orang ke
hutan, beliau berkata secara terang-terangan, "Demi
Tuhan, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya
terhadap berhala-berhalamu sesudah kamu pergi
meninggalkannya." (QS, al-Anbiya', 21:57)
'Allamah Majlisi mengutip dari Imam Ja'far
ash-Shadiq, "Gerakan dan perjuangan satu orang melawan
ribuan orang musyrik merupakan bukti nyata akan
keberanian dan kesabaran Ibrahim, yang tidak
mengkhawatirkan jiwanya dalam mengangkat asma Allah dan
memperkuat dasar penyembahan kepada Tuhan yang Esa."
(lihat Bihar al-Anwar, V, hal. 130).
2. Sepintas nampak seakan penghancuran berhala oleh
Ibrahim merupakan pemberontakan bersenjata dan
permusuhan, tetapi dari percakapannya dengan para
hakim, terbukti bahwa gerakan ini sebenarnya mempunyai
aspek dakwah. Karena, beliau memandang bahwa sebagai
sarana terakhir untuk membangunkan kebijaksanaan dan
kesadaran hati nurani manusia, beliau harus
menghancurkan berhala-berhala itu, kecuali berhala yang
besar, dan meletakkan kapak di bahunya, supaya mereka
dapat mengadakan penyelidikan lebih jauh tentang
sebab-sebab insiden itu. Dan, sebagai ternyata pada
akhirnya, mereka hanya akan menganggap pandangan itu
sebagai ejekan, dan sama sekali tak akan percaya kalau
penghancuran itu dilakukan oleh berhala besar itu.
Dengan demikian, beliau dapat menggunakan hal itu untuk
mendakwahkan pendapatnya dengan mengatakan, "Menurut
pengakuan kalian sendiri, berhala besar itu tidak
mempunyai kekuasaan sedikit pun, lalu mengapa kalian
menyembahnya?" Ini menunjukkan bahwa sejak awal mula,
para nabi hanya menggunakan logika dan argumen sebagai
senjata mereka yang ampuh, dan itu senantiasa membawa
hasil. Kalau tidak, maka apa artinya penghancuran
berhala ketimbang bahaya bagi nyawa Ibrahim? Tindakan
ini tentulah mengandung makna besar bagi misinya, dari
sisi pandang alasan penalaran, sehingga beliau sedia
mengorbankan nyawanya untuk itu.
3. Ibrahim sadar bahwa sebagai akibat tindakannya,
hidupnya akan berakhir. Karenanya, menurut anggapan
umum, ia mestinya akan terguncang, menyembunyikan diri,
atau sekurang-kurangnya berjanji akan berhenti membuat
"lelucon." Tetapi, ia sepenuhnya menguasai semangat dan
emosinya. Misalnya, ketika memasuki kuil berhala, ia
mendekati setiap berhala dan menawarkan mereka makan,
secara olok-olok. Setelah ternyata sia-sia, beliau
menjadikan isi kuil berhala itu onggokan penggalan
kayu, dan menganggap semua itu sebagai sesuatu yang
benar-benar biasa saja, seakan-akan hal itu tidak akan
disusul oleh kematiannya sendiri. Ketika muncul di
pengadilan, beliau menjawab pertanyaan mereka,
"Sesungguhnya seseorang telah melakukannya. Pemimpinnya
ialah yang ini. Karena itu, tanyakanlah kepadanya jika
ia dapat berbicara." Lelucon demikian di hadapan
pengadilan hanya dapat muncul dari seseorang yang siap
sedia menghadapi segala kesudahan tanpa rasa takut atau
ngeri dalam hatinya.
Bahkan, yang lebih menakjubkan lagi ialah sikap
Ibrahim pada saat ia ditempatkan pada pelontar, dan
mengetahui dengan pasti bahwa ia segera akan berada di
tengah api -yang kayu bakarnya tadinya dikumpulkan
orang Babilon untuk melaksanakan upacara suci
keagamaan, dan yang nyalanya membubung dengan dahsyat
sehingga bahkan burung rajawali tak berani terbang di
atasnya. Pada saat itu, Malaikat Jibril turun dan
langit seraya menyatakan kesediaannya untuk memberikan
segala pertolongan kepada Ibrahim. Jibril berkata, "Apa
keinginanmu?" Ibrahim menjawab, "Aku mempunyai hasrat.
Tetapi aku tak dapat memberitahukannya kecuali kepada
Tuhanku." (lihat Al-'Uyun, hal. 136; al-Amali, oleh
Shaduq, hal. 274; Bihar al-Anwar, hal. 35). Jawaban ini
jelas menunjukkan keluhuran dan kebesaran rohani
Ibrahim.
Namrud menanti dengan cemas dan gelisah karena
dendam kesumatnya kepada Ibrahim. Ia begitu ingin
melihat bagaimana api menelannya. Pelontar disiapkan.
Dengan satu sentakan, tubuh Ibrahim, si jawara tauhid
Ilahi, terlempar ke api. Namun, kehendak Tuhan Ibrahim
mengubah neraka buatan itu menjadi taman dengan cara
yang amat mengejutkan mereka, sehingga Namrud tanpa
sengaja berpaling kepada Azar dan berkata, "Tuhan
Ibrahim mencintainya." (Tafsir al-Burhan, III, hal.
64).
Walaupun adanya kejadian itu, Ibrahim tak dapat
mendakwahkan agamanya dengan kebebasan penuh. Akhirnya,
pemerintah waktu itu memutuskan, setelah bermusyawarah,
untuk membuang Ibrahim. Ini membuka suatu bab baru
dalam kehidupan Ibrahim dan menjadi awal perjalanannya
ke Suriah, Palestina, Mesir, dan Hijaz.
BAB BARU DALAM KEHIDUPAN IBRAHIM
Pengadilan di Babilonia memutuskan membuang Ibrahim
dari negeri itu. Beliau pun meninggalkan tempat
kelahirannya, lalu pergi ke Mesir dan Palestina.
Amaliqa, yang menguasai wilayah-wilayah itu,
menyambutnya dengan hangat dan memberikan kepadanya
banyak hadiah, satu di antaranya adalah seorang budak
perempuan bernama Hajar.
Istri Ibrahim, Sarah, belum melahirkan anak hingga saat
itu. Oleh karena itu, ia menyarankan Ibrahim supaya
kawin dengan Hajar, dengan harapan kiranya beliau
diberkati seorang putra, yang akan menjadi sumber
kebahagiaan dan kesenangan mereka. Perkawinan
dilangsungkan, dan Hajar kemudian melahirkan seorang
putra yang diberi nama Ismai'l. Itu terjadi jauh
sebelum Sarah hamil dan melahirkan seorang putra yang
diberi nama Ishaq. (Lihat Sa'd as-Su'ud, hal. 41-42;
Bihar al-Anwar, hal. 118).
Setelah beberapa waktu, sebagaimana diperintahkan
Allah, Ibrahim membawa Isma'il dan ibunya, Hajar ke
selatan (Mekah), dan menempatkan mereka di suatu lembah
yang tak dikenal. Lembah ini tak berpenghuni, dan hanya
kafilah dari Sunah ke Yaman dan sebaliknya yang
memasang tenda di sana. Bila tidak ada kafilah, tempat
ini benar-benar sepi dan hanya merupakan hamparan pasir
membakar sebagaimana bagian-bagian tanah Arab lainnya.
Tinggal di tempat yang mengerikan itu sungguh sulit
bagi seorang perempuan yang telah melewatkan
hari-harinya di negeri Amaliqa. Terik gurun yang
membakar dan anginnya yang amat sangat panas memberikan
bayangan kematian di hadapan mata. Ibrahim sendiri
sangat prihatin atas kenyataan ini. Sementara memegang
kendali hewan tunggangannya dengan maksud mengucapkan
selamat tinggal kepada istri dan anaknya, air matanya
mengalir, dan ia berkata kepada Hajar, "Wahai.Hajar!
Semua ini dilakukan menurut perintah Yang Mahakuasa,
dan perintah-Nya tak dapat dilawan. Bersandarlah pada
rahmat Allah, dan yakinlah bahwa Ia tak akan menistakan
kamu." Kemudian Ibrahim berdoa kepada Allah dengan
penuh khusyuk, "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini
negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dan
buah-buahan kepada penduduknya yang beriman kepada
Allah dan Hari Kemudian." (QS, al-Baqarah, 2:126).
Ketika sedang menuruni bukit, Ibrahim menengok ke
belakang dan berdoa kepada Allah untuk mencurahkan
rahmat-Nya kepada mereka.
Walaupun perjalanan tersebut tampak sangat sulit dan
susah, di kemudian hari terbukti bahwa hal itu
mengandung makna yang amat penting. Di antaranya adalah
pembangunan Ka'bah yang memberikan dasar yang agung
bagi para penganut tauhid untuk mengibarkan panji
penyembahan kepada Allah Yang Esa di Arabia, dan
merupakan fundasi gerakan keagamaan yang besar, yang
akan mendapat bentuk di kemudian hari, yaitu gerakan
besar yang beroperasi di negeri ini melalui pengunci
segala nabi.
BAGAIMANA TERJADINYA SUMBER AIR ZAM-ZAM
Ibrahim mengambil kendali hewan tunggangannya. Dengan
air mata, ia memohon diri kepada tanah Mekah, Hajar,
dan putranya. Tetapi, tak berapa lama kemudian, makanan
dan minuman yang dapat diperoleh si anak dan ibunya
habis, dan air susu Hajar pun kering. Kondisi putranya
mulai merosot. Air mata mengucur dari ibu yang terasing
itu dan membasahi pangkuannya. Dalam keadaan amat
bingung, ia bangkit berdiri lalu pergi ke bukit Shafa.
Dari sana ia melihat suatu bayangan dekat bukit Marwah.
Ia pun lari ke sana. Namun, pemandangan palsu itu
sangat mengecewakannya. Tangisan dan keresahan putranya
tercinta menyebabkan ia lari lebih keras ke sana ke
mari. Demikianlah, ia berlari tujuh kali antara bukit
Shafa dan Marwah untuk mencari air, tetapi pada
akhirnya ia kehilangan semua harapan, lalu kembali
kepada putranya.
Si anak tentulah telah hampir sampai pada nafasnya yang
terakhir. Kemampuannya meratap atau menangis sudah
tiada. Namun, justru pada saat itu doa Ibrahim
terkabul. Ibu yang letih lesu itu melihat bahwa air
jernih telah mulai keluar dari bawah kaki Isma'il. Sang
ibu, yang sedang menatap putranya dan mengira ia akan
mati beberapa saat lagi, merasa sangat gembira melihat
air itu. Ibu dan anak itu minum sampai puas, dan kabut
putus asa vang telah merentangkan bayangannya pada
kehidupan mereka pun terusir oleh angin rahmat
Ilahi.(lihat Tafsir al-Qummi, hal. 52; Bihar al-Anwar,
II, hal. 100).
Munculnya sumber air ini, yang dinamakan Zamzam, sejak
hari itu, membuat burung-burung air terbang di atasnya,
membentangkan sayapnya yang lebar sebagai penaung
kepala ibu dan anak yang telah menderita itu.
Orang-orang dari suku Jarham, yang tinggal jauh dari
lembah ini, melihat burung-burung yang beterbangan ke
sana ke mari itu. Mereka lalu menyimpulkan bahwa telah
ada air di sekitarnya. Mereka mengutus dua orang untuk
mengetahui keadaan itu. Setelah lama berkeliling, kedua
orang itu sampai ke pusat rahmat Ilahi itu. Ketika
mendekat, mereka melihat seorang wanita dan seorang
anak sedang duduk di tepi suatu genangan air. Mereka
segera kembali dan melaporkan hal itu kepada para
pemimpin sukunya. Para anggota suku itu segera memasang
kemah mereka di sekitar sumber air yang diberkati itu,
dan Hajar pun terlepas dari kesulitan dan pahitnya
kesepian yang dideritanya. Isma'il tumbuh sampai dewasa
sebagai pemuda yang ramah. Ia pun mengadakan ikatan
perkawinan dengan wanita suku Jarham. Dengan demikian,
ia beroleh dukungan dan menjadi anggota masyarakat
mereka. Oleh karena itu, dari sisi ibu, keturunan
Isma'il berfamili dengan suku Jarham.
MEREKA BERTEMU KEMBALI
Setelah meninggalkan putranya yang tercinta di tanah
Mekah atas perintah Allah Yang Mahakuasa, kadang-kadang
Ibrahim berpikir untuk pergi melihat putranya. Pada
salah satu perjalanannya, ia sampai di Mekah dan
mendapatkan bahwa putranya tidak ada di rumah. Waktu
itu, Isma'il telah tumbuh menjadi lelaki dewasa dan
telah kawin dengan seorang gadis suku Jarham. Ibrahim
bertanya kepada istri Ismai'l, "Di mana suamimu?"
Perempuan itu menjawab, "Ia telah keluar untuk
berburu!" Kemudian Ibrahim bertanya kepadanya apakah ia
mempunyai makanan. Ia menjawab tak ada.
Ibrahim sangat sedih melihat kekasaran istri putranya.
Ia lalu berkata kepada menantunya itu, "Bila Isma'il
pulang, sampaikan kepadanya salam saya, dan katakan
pula kepadanya untuk mengganti ambang pintu rumahnya."
Kemudian Ibrahim pergi.
Ketika kembali, Isma'il mencium bau ayahnya. Dari
keterangan istrinya, ia menyadari bahwa orang yang
telah mengunjungi rumahnya adalah memang ayahnya. Ia
juga mengerti bahwa pesan yang ditinggalkan ayahnya
berati bahwa beliau (Ibrahim) menghendakinya
menceraikan istrinya sekarang dan menggantikannya
dengan yang lain, karena beliau memandang istrinya yang
sekarang tidak pantas menjadi kawan hidupnya.(lihat
Bihar al-Anwar, hal. 112, sebagaimana dikutip dari
Qishash al-Anbiya'))
Mungkin dapat dipertanyakan mengapa setelah melakukan
perjalanan sejauh itu, Ibrahim tidak menunggu sampai
putranya pulang dari berburu, tapi langsung pergi lagi
tanpa melihatnya. Para sejarawan menerangkan bahwa
Ibrahim pulang dengan tergesa-gesa karena telah
berjanji kepada Sarah bahwa beliau tak akan tinggal
lama di sana. Setelah perjalanan ini, ia juga
diperintahkan Allah Yang Mahakuasa untuk melaksanakan
suatu perjalanan lagi ke Mekah, untuk mendirikan Ka'bah
guna menarik hati orang yang beriman tauhid .
Al-Qur'an menyatakan bahwa menjelang hari-hari terakhir
Ibrahim, Mekah telah tumbuh menjadi sebuah kota,
karena, setelah menyelesaikan tugasnya, ia berdoa
kepada Allah, "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri
yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari
menyembah berhala." (QS Ibrahim, 14:35). Dan ketika
tiba di gurun Mekah, ia berdoa, "Ya Tuhanku, jadikanlah
negeri ini negeri yang aman sentosa." (QS al-Baqarah,
2:126).
Walaupun orang Yahudi mengaku sebagai pelopor kafilah
penganut tauhid, riwayat ini tak masyhur di kalangan
mereka dan tidak beroleh tempat dalam Taurat yang ada
sekarang. Di antara kitab-kitab Ilahi, hanya Al-Qur'an
yang telah meriwayatkannya. Oleh karena itu, kami
sebutkan di bawah ini beberapa pokok yang mengandung
pelajaran bagi manusia, suatu hal yang memang merupakan
tujuan pokok Al-Qur'an ketika meriwayatkan sejarah
berbagai nabi.
1. Riwayat ini merupakan bukti yang jelas tentang
keberanian dan keperkasaan yang luar biasa dari kekasih
Allah (Ibrahim) ini. Tekadnya untuk menghancurkan
manifestasi dan sarana kemusyrikan tak dapat
disembunyikan dari rakyat Namrud. Dengan celaan dan
kecamannya, beliau telah menyatakan perlawanan dan
kebenciannya yang luar biasa terhadap penyembahan
berhala secara sangat nyata. Beliau mengatakan secara
terbuka dan jelas, "Apabila kamu tidak berhenti dari
praktek yang memalukan itu, aku akan membuat keputusan
tentang mereka." Dan pada hari kepergian orang-orang ke
hutan, beliau berkata secara terang-terangan, "Demi
Tuhan, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya
terhadap berhala-berhalamu sesudah kamu pergi
meninggalkannya." (QS, al-Anbiya', 21:57)
'Allamah Majlisi mengutip dari Imam Ja'far
ash-Shadiq, "Gerakan dan perjuangan satu orang melawan
ribuan orang musyrik merupakan bukti nyata akan
keberanian dan kesabaran Ibrahim, yang tidak
mengkhawatirkan jiwanya dalam mengangkat asma Allah dan
memperkuat dasar penyembahan kepada Tuhan yang Esa."
(lihat Bihar al-Anwar, V, hal. 130).
2. Sepintas nampak seakan penghancuran berhala oleh
Ibrahim merupakan pemberontakan bersenjata dan
permusuhan, tetapi dari percakapannya dengan para
hakim, terbukti bahwa gerakan ini sebenarnya mempunyai
aspek dakwah. Karena, beliau memandang bahwa sebagai
sarana terakhir untuk membangunkan kebijaksanaan dan
kesadaran hati nurani manusia, beliau harus
menghancurkan berhala-berhala itu, kecuali berhala yang
besar, dan meletakkan kapak di bahunya, supaya mereka
dapat mengadakan penyelidikan lebih jauh tentang
sebab-sebab insiden itu. Dan, sebagai ternyata pada
akhirnya, mereka hanya akan menganggap pandangan itu
sebagai ejekan, dan sama sekali tak akan percaya kalau
penghancuran itu dilakukan oleh berhala besar itu.
Dengan demikian, beliau dapat menggunakan hal itu untuk
mendakwahkan pendapatnya dengan mengatakan, "Menurut
pengakuan kalian sendiri, berhala besar itu tidak
mempunyai kekuasaan sedikit pun, lalu mengapa kalian
menyembahnya?" Ini menunjukkan bahwa sejak awal mula,
para nabi hanya menggunakan logika dan argumen sebagai
senjata mereka yang ampuh, dan itu senantiasa membawa
hasil. Kalau tidak, maka apa artinya penghancuran
berhala ketimbang bahaya bagi nyawa Ibrahim? Tindakan
ini tentulah mengandung makna besar bagi misinya, dari
sisi pandang alasan penalaran, sehingga beliau sedia
mengorbankan nyawanya untuk itu.
3. Ibrahim sadar bahwa sebagai akibat tindakannya,
hidupnya akan berakhir. Karenanya, menurut anggapan
umum, ia mestinya akan terguncang, menyembunyikan diri,
atau sekurang-kurangnya berjanji akan berhenti membuat
"lelucon." Tetapi, ia sepenuhnya menguasai semangat dan
emosinya. Misalnya, ketika memasuki kuil berhala, ia
mendekati setiap berhala dan menawarkan mereka makan,
secara olok-olok. Setelah ternyata sia-sia, beliau
menjadikan isi kuil berhala itu onggokan penggalan
kayu, dan menganggap semua itu sebagai sesuatu yang
benar-benar biasa saja, seakan-akan hal itu tidak akan
disusul oleh kematiannya sendiri. Ketika muncul di
pengadilan, beliau menjawab pertanyaan mereka,
"Sesungguhnya seseorang telah melakukannya. Pemimpinnya
ialah yang ini. Karena itu, tanyakanlah kepadanya jika
ia dapat berbicara." Lelucon demikian di hadapan
pengadilan hanya dapat muncul dari seseorang yang siap
sedia menghadapi segala kesudahan tanpa rasa takut atau
ngeri dalam hatinya.
Bahkan, yang lebih menakjubkan lagi ialah sikap
Ibrahim pada saat ia ditempatkan pada pelontar, dan
mengetahui dengan pasti bahwa ia segera akan berada di
tengah api -yang kayu bakarnya tadinya dikumpulkan
orang Babilon untuk melaksanakan upacara suci
keagamaan, dan yang nyalanya membubung dengan dahsyat
sehingga bahkan burung rajawali tak berani terbang di
atasnya. Pada saat itu, Malaikat Jibril turun dan
langit seraya menyatakan kesediaannya untuk memberikan
segala pertolongan kepada Ibrahim. Jibril berkata, "Apa
keinginanmu?" Ibrahim menjawab, "Aku mempunyai hasrat.
Tetapi aku tak dapat memberitahukannya kecuali kepada
Tuhanku." (lihat Al-'Uyun, hal. 136; al-Amali, oleh
Shaduq, hal. 274; Bihar al-Anwar, hal. 35). Jawaban ini
jelas menunjukkan keluhuran dan kebesaran rohani
Ibrahim.
Namrud menanti dengan cemas dan gelisah karena
dendam kesumatnya kepada Ibrahim. Ia begitu ingin
melihat bagaimana api menelannya. Pelontar disiapkan.
Dengan satu sentakan, tubuh Ibrahim, si jawara tauhid
Ilahi, terlempar ke api. Namun, kehendak Tuhan Ibrahim
mengubah neraka buatan itu menjadi taman dengan cara
yang amat mengejutkan mereka, sehingga Namrud tanpa
sengaja berpaling kepada Azar dan berkata, "Tuhan
Ibrahim mencintainya." (Tafsir al-Burhan, III, hal.
64).
Walaupun adanya kejadian itu, Ibrahim tak dapat
mendakwahkan agamanya dengan kebebasan penuh. Akhirnya,
pemerintah waktu itu memutuskan, setelah bermusyawarah,
untuk membuang Ibrahim. Ini membuka suatu bab baru
dalam kehidupan Ibrahim dan menjadi awal perjalanannya
ke Suriah, Palestina, Mesir, dan Hijaz.
BAB BARU DALAM KEHIDUPAN IBRAHIM
Pengadilan di Babilonia memutuskan membuang Ibrahim
dari negeri itu. Beliau pun meninggalkan tempat
kelahirannya, lalu pergi ke Mesir dan Palestina.
Amaliqa, yang menguasai wilayah-wilayah itu,
menyambutnya dengan hangat dan memberikan kepadanya
banyak hadiah, satu di antaranya adalah seorang budak
perempuan bernama Hajar.
Istri Ibrahim, Sarah, belum melahirkan anak hingga saat
itu. Oleh karena itu, ia menyarankan Ibrahim supaya
kawin dengan Hajar, dengan harapan kiranya beliau
diberkati seorang putra, yang akan menjadi sumber
kebahagiaan dan kesenangan mereka. Perkawinan
dilangsungkan, dan Hajar kemudian melahirkan seorang
putra yang diberi nama Ismai'l. Itu terjadi jauh
sebelum Sarah hamil dan melahirkan seorang putra yang
diberi nama Ishaq. (Lihat Sa'd as-Su'ud, hal. 41-42;
Bihar al-Anwar, hal. 118).
Setelah beberapa waktu, sebagaimana diperintahkan
Allah, Ibrahim membawa Isma'il dan ibunya, Hajar ke
selatan (Mekah), dan menempatkan mereka di suatu lembah
yang tak dikenal. Lembah ini tak berpenghuni, dan hanya
kafilah dari Sunah ke Yaman dan sebaliknya yang
memasang tenda di sana. Bila tidak ada kafilah, tempat
ini benar-benar sepi dan hanya merupakan hamparan pasir
membakar sebagaimana bagian-bagian tanah Arab lainnya.
Tinggal di tempat yang mengerikan itu sungguh sulit
bagi seorang perempuan yang telah melewatkan
hari-harinya di negeri Amaliqa. Terik gurun yang
membakar dan anginnya yang amat sangat panas memberikan
bayangan kematian di hadapan mata. Ibrahim sendiri
sangat prihatin atas kenyataan ini. Sementara memegang
kendali hewan tunggangannya dengan maksud mengucapkan
selamat tinggal kepada istri dan anaknya, air matanya
mengalir, dan ia berkata kepada Hajar, "Wahai.Hajar!
Semua ini dilakukan menurut perintah Yang Mahakuasa,
dan perintah-Nya tak dapat dilawan. Bersandarlah pada
rahmat Allah, dan yakinlah bahwa Ia tak akan menistakan
kamu." Kemudian Ibrahim berdoa kepada Allah dengan
penuh khusyuk, "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini
negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dan
buah-buahan kepada penduduknya yang beriman kepada
Allah dan Hari Kemudian." (QS, al-Baqarah, 2:126).
Ketika sedang menuruni bukit, Ibrahim menengok ke
belakang dan berdoa kepada Allah untuk mencurahkan
rahmat-Nya kepada mereka.
Walaupun perjalanan tersebut tampak sangat sulit dan
susah, di kemudian hari terbukti bahwa hal itu
mengandung makna yang amat penting. Di antaranya adalah
pembangunan Ka'bah yang memberikan dasar yang agung
bagi para penganut tauhid untuk mengibarkan panji
penyembahan kepada Allah Yang Esa di Arabia, dan
merupakan fundasi gerakan keagamaan yang besar, yang
akan mendapat bentuk di kemudian hari, yaitu gerakan
besar yang beroperasi di negeri ini melalui pengunci
segala nabi.
BAGAIMANA TERJADINYA SUMBER AIR ZAM-ZAM
Ibrahim mengambil kendali hewan tunggangannya. Dengan
air mata, ia memohon diri kepada tanah Mekah, Hajar,
dan putranya. Tetapi, tak berapa lama kemudian, makanan
dan minuman yang dapat diperoleh si anak dan ibunya
habis, dan air susu Hajar pun kering. Kondisi putranya
mulai merosot. Air mata mengucur dari ibu yang terasing
itu dan membasahi pangkuannya. Dalam keadaan amat
bingung, ia bangkit berdiri lalu pergi ke bukit Shafa.
Dari sana ia melihat suatu bayangan dekat bukit Marwah.
Ia pun lari ke sana. Namun, pemandangan palsu itu
sangat mengecewakannya. Tangisan dan keresahan putranya
tercinta menyebabkan ia lari lebih keras ke sana ke
mari. Demikianlah, ia berlari tujuh kali antara bukit
Shafa dan Marwah untuk mencari air, tetapi pada
akhirnya ia kehilangan semua harapan, lalu kembali
kepada putranya.
Si anak tentulah telah hampir sampai pada nafasnya yang
terakhir. Kemampuannya meratap atau menangis sudah
tiada. Namun, justru pada saat itu doa Ibrahim
terkabul. Ibu yang letih lesu itu melihat bahwa air
jernih telah mulai keluar dari bawah kaki Isma'il. Sang
ibu, yang sedang menatap putranya dan mengira ia akan
mati beberapa saat lagi, merasa sangat gembira melihat
air itu. Ibu dan anak itu minum sampai puas, dan kabut
putus asa vang telah merentangkan bayangannya pada
kehidupan mereka pun terusir oleh angin rahmat
Ilahi.(lihat Tafsir al-Qummi, hal. 52; Bihar al-Anwar,
II, hal. 100).
Munculnya sumber air ini, yang dinamakan Zamzam, sejak
hari itu, membuat burung-burung air terbang di atasnya,
membentangkan sayapnya yang lebar sebagai penaung
kepala ibu dan anak yang telah menderita itu.
Orang-orang dari suku Jarham, yang tinggal jauh dari
lembah ini, melihat burung-burung yang beterbangan ke
sana ke mari itu. Mereka lalu menyimpulkan bahwa telah
ada air di sekitarnya. Mereka mengutus dua orang untuk
mengetahui keadaan itu. Setelah lama berkeliling, kedua
orang itu sampai ke pusat rahmat Ilahi itu. Ketika
mendekat, mereka melihat seorang wanita dan seorang
anak sedang duduk di tepi suatu genangan air. Mereka
segera kembali dan melaporkan hal itu kepada para
pemimpin sukunya. Para anggota suku itu segera memasang
kemah mereka di sekitar sumber air yang diberkati itu,
dan Hajar pun terlepas dari kesulitan dan pahitnya
kesepian yang dideritanya. Isma'il tumbuh sampai dewasa
sebagai pemuda yang ramah. Ia pun mengadakan ikatan
perkawinan dengan wanita suku Jarham. Dengan demikian,
ia beroleh dukungan dan menjadi anggota masyarakat
mereka. Oleh karena itu, dari sisi ibu, keturunan
Isma'il berfamili dengan suku Jarham.
MEREKA BERTEMU KEMBALI
Setelah meninggalkan putranya yang tercinta di tanah
Mekah atas perintah Allah Yang Mahakuasa, kadang-kadang
Ibrahim berpikir untuk pergi melihat putranya. Pada
salah satu perjalanannya, ia sampai di Mekah dan
mendapatkan bahwa putranya tidak ada di rumah. Waktu
itu, Isma'il telah tumbuh menjadi lelaki dewasa dan
telah kawin dengan seorang gadis suku Jarham. Ibrahim
bertanya kepada istri Ismai'l, "Di mana suamimu?"
Perempuan itu menjawab, "Ia telah keluar untuk
berburu!" Kemudian Ibrahim bertanya kepadanya apakah ia
mempunyai makanan. Ia menjawab tak ada.
Ibrahim sangat sedih melihat kekasaran istri putranya.
Ia lalu berkata kepada menantunya itu, "Bila Isma'il
pulang, sampaikan kepadanya salam saya, dan katakan
pula kepadanya untuk mengganti ambang pintu rumahnya."
Kemudian Ibrahim pergi.
Ketika kembali, Isma'il mencium bau ayahnya. Dari
keterangan istrinya, ia menyadari bahwa orang yang
telah mengunjungi rumahnya adalah memang ayahnya. Ia
juga mengerti bahwa pesan yang ditinggalkan ayahnya
berati bahwa beliau (Ibrahim) menghendakinya
menceraikan istrinya sekarang dan menggantikannya
dengan yang lain, karena beliau memandang istrinya yang
sekarang tidak pantas menjadi kawan hidupnya.(lihat
Bihar al-Anwar, hal. 112, sebagaimana dikutip dari
Qishash al-Anbiya'))
Mungkin dapat dipertanyakan mengapa setelah melakukan
perjalanan sejauh itu, Ibrahim tidak menunggu sampai
putranya pulang dari berburu, tapi langsung pergi lagi
tanpa melihatnya. Para sejarawan menerangkan bahwa
Ibrahim pulang dengan tergesa-gesa karena telah
berjanji kepada Sarah bahwa beliau tak akan tinggal
lama di sana. Setelah perjalanan ini, ia juga
diperintahkan Allah Yang Mahakuasa untuk melaksanakan
suatu perjalanan lagi ke Mekah, untuk mendirikan Ka'bah
guna menarik hati orang yang beriman tauhid .
Al-Qur'an menyatakan bahwa menjelang hari-hari terakhir
Ibrahim, Mekah telah tumbuh menjadi sebuah kota,
karena, setelah menyelesaikan tugasnya, ia berdoa
kepada Allah, "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri
yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari
menyembah berhala." (QS Ibrahim, 14:35). Dan ketika
tiba di gurun Mekah, ia berdoa, "Ya Tuhanku, jadikanlah
negeri ini negeri yang aman sentosa." (QS al-Baqarah,
2:126).
IBRAHIM BAPAK TAUHID UMAT MANUSIA
PENJELASAN LOGIKA IBRAHIM
Ibrahim sangat menyadari bahwa Allah menguasai alam
semesta, tetapi pertanyaannya adalah: Apakah sumber
kekuatan itu terdiri dari benda-benda langit ini, atau
suatu Wujud Yang Mahakuasa, yang lebih tinggi
daripadanya? Setelah mengkaji kondisi-kondisi benda
yang berubah-ubah ini, Ibrahim mendapatkan bahwa
wujud-wujud yang cerah dan bersinar itu sendiri tunduk
pada ketetapan -terbit, terbenam, dan lenyap- menurut
sistem tertentu dan berotasi pada suatu jalan yang tak
berubah-ubah. Ini membuktikan bahwa mereka tunduk pada
kehendak dari sesuatu yang lain; suatu kekuatan yang
lebih besar dan lebih kuat mengontrol mereka dan
membuat mereka berotasi pada orbit yang telah
ditentukan.
Marilah kita bahas masalah ini lebih lanjut. Alam
semesta sepenuhnya memiliki "peluang-peluang" dan
"kebutuhan-kebutuhan." Berbagai makhluk dan fenomena
alami tak pernah lepas dari Yang Mahakuasa. Mereka
membutuhkan Tuhan Yang Mahatahu dalam setiap detik,
siang dan malam - Tuhan yang tidak pernah lalai akan
kebutuhan mereka. Benda-benda langit itu hadir dan
diperlukan pada suatu saat dan tak hadir serta tak
berguna pada saat lainnya. Wujud seperti itu tidak
mempunyai kemampuan yang diperlukan untuk menjadi tuhan
dan wujud lainnya, untuk memenuhi kebutuhan dan
keperluan mereka
Teori ini dapat diperluas dalam bentuk berbagai
pernyataan teoritis dan filosofis. Misalnya, kita
mungkin mengatakan: Benda-benda langit ini bergerak dan
berputar pada sumbunya masing-masing. Apabila
gerakannya itu tanpa pilihan dan atas paksaan
semata-mata, tentulah ada tangan yang lebih kuat yang
mengendalikannya. Apabila gerakannya sesuai dengan
kehendaknya sendiri, haruslah dilihat apakah tujuan
dari gerakan itu. Apabila mereka bergerak untuk
mencapai kesempurnaan, seperti benih yang bangkit dari
bumi untuk tumbuh menjadi pohon dan berbuah, maka itu
berarti mereka memerlukan suatu wujud yang independen,
kuasa, dan bijaksana yang akan menyingkirkan
kekurangan-kekurangan mereka dan menganugerahkan kepada
mereka sifat kesempurnaan. Apabila gerakan dan rotasi
mereka menuju kepada kelemahan dan kekurangan, dan
halnya seperti orang yang melewati usia puncaknya dan
memasuki sisi usia yang salah, maka itu berarti
gerakannya cenderung kepada kemunduran dan kehancuran,
dan dengan demikian tidak sesuai dengan posisi sebagai
tuhan yang akan menguasai dunia dan segala isinya.
METODE DISKUSI DAN DEBAT PARA NABI
Sejarah para nabi menunjukkan bahwa mereka memulai
program reformasi dengan mengundang para anggota
keluarga mereka kepada jalan yang benar, kemudian
mereka memperluas dakwah itu kepada orang lain. Ini
pulalah yang dilakukan Nabi Muhammad segera setelah
beliau ditunjuk sebagai nabi. Pertama-tama beliau
mengajak kaumnya sendiri kepada Islam, dan meletakkan
fundasi dakwahnya pada reformasi mereka, sesuai dengan
perintah Allah, "Dan berilah peringatan kepada
kerabat-kerabatmu yang terdekat." (QS, asy-Syu'ara',
26:2l3)
Ibrahim juga mengambil metode yang sama. Mula-mula
beliau berusaha mereformasi kaum kerabatnya. Azar
menduduki posisi yang sangat tinggi di kalangan
familinya, karena, selain terpelajar dan seorang
seniman, ia juga ahli astrologi. Di istana Namrud,
kata-katanya sangat berpengaruh, dan
kesimpulan-kesimpulan astrologinya diterima semua
penghuni istana.
Ibrahim sadar bahwa apabila ia herhasil meraih Azar ke
pihaknya maka ia akan merebut benteng terkuat dari para
penyembah berhala. Oleh karena itu, ia menasihatinya
dengan cara sebaik mungkin supaya tidak mcnyembah
benda-benda mati. Tetapi, karena beberapa alasan, Azar
tidak menerima ajakan dan nasihat Ibrahim. Namun,
sejauh berhubungan dengan kita, hal terpenting dalam
episode ini ialah metode dakwah dan bentuk percakapan
Ibrahim dengan Azar. Lewat kajian mendalam dan cermat
terhadap ayat-ayat Al-Qur'an yang merekam percakapan
ini, metode argumen dan dakwah yang ditempuh para nabi
itu menjadi amat sangat jelas. Marilah kita lihat
bagaimana Ibrahim mengajak Azar kepada jalan yang
benar:
"Ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya, 'Wahai
ayahku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak
mendengar; tidak melihat, dan tidak menolong kamu
sedikitpun. Wahai ayahku, sesungguhnya telah datang
kepadaku sebagian ilmu pengetahuan yang tidak datang
kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan
menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai ayahku,
janganlah kamu menyembah syaitan. Sesungguhnya syaitan
itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. Wahai
ayahku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan
ditimpa azab dan Tuhan Yang Maha Pemurah, sehingga
jadilah kamu kawan syaitan.'" (QS, Maryam, 19:42-45)
Sebagai jawaban atas ajakan Ibrahim, Azar berkata,
"Beranikah engkau menyangkal tuhan-tuhanku, hai
Ibrahim? Bertobatlah dari ketololan itu! Kalau tidak,
engkau akan dirajam sampai mati. Keluarlah segera dari
rumahku!"
Ibrahim yang murah hati menerima kata-kata kasar Azar
ini dengan ketenangan sempurna seraya menjawab, "Salam
atasmu. Aku akan memohon kepada Tuhanku untuk
mengampunimu."
Adakah jawaban yang lebih pantas dan ucapan yang lebih
patut daripada kata-kata Ibrahim ini?
APAKAH AZAR AYAH IBRAHIM?
Ayat-ayat yang dikutip di atas, maupun ayat (15) surah
at-Taubah dan (14) surah al-Mumtahanah, seakan memberi
kesan hubungan Azar dengan Ibrahim sebagai ayah dan
anak. Namun, perlu diinformasikan di sini bahwa dari
perspektif Syi'ah, penyembah berhala Azar sebagai ayah
Ibrahim tidaklah sesuai dengan konsensus para ulama
mereka yang percaya bahwa nenek moyang Nabi Muhammad
maupun semua nabi lainnya adalah orang-orang takwa yang
beriman tauhid. Ulama besar Syi'ah, Syekh Mufid,
memandang anggapan ini sebagai salah satu pendapat yang
disepakati seluruh ulama Syi'ah dan sejumlah besar
ulama Sunni (lihat Awa'il al-Malaqat, hal. 12). Oleh
karena itu, timbul pertanyaan: Apakah sesungguhnya
maksud ayat-ayat yang nampak jelas itu, dan bagaimana
masalah ini harus dipecahkan?
Banyak mufasir Al-Qur'an menegaskan bahwa walaupun kata
ab dalam bahasa Arab biasanya digunakan dalam arti
"ayah," kadang-kadang kata itu juga digunakan dalam
leksikon Arab dan terminologi Al-Qur'an dalam arti
"paman." Dalam ayat berikut, misalnya, kata ab berarti
"paman"
"Adakah kamu hadir ketika Ya'qub kedatangan
[tanda-tanda] maut, ketika ia berkata kepada
anak-anaknya, 'Apa yang kamu sembah sepeninggalku?'
Mereka menjawab, 'Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan
ab-Smu, [yakni] Ibrahim, Isma'il, dan Ishaq, [yaitu]
Tuhan Yang Maha Esa, dan kami hanya tunduk patuh
kepada-Nya." (QS, al-Baqarah, 2:133)
Tiada keraguan bahwa Isma'il adalah paman Ya'qub, bukan
ayahnya, karena Ya'qub adalah putra Ishaq yang saudara
Isma'il. Walaupun demikian, putra-putra Ya'qub
memanggilnya "ayah Ya'qub" yakni ab Ya'qub. Karena kata
ini mengandung dua makna, maka pada ayat-ayat yang
berhubungan dengan diajaknya Azar ke jalan yang benar
oleh Ibrahim, boleh jadi yang dimaksud dengannya adalah
"paman." Dan boleh jadi pula Ibrahim memanggilnya
"ayah," karena ia telah bertindak sebagai wali baginya
dalam waktu yang panjang, dan Ibrahim memandangnya
sebagai ayahnya.
AZAR DALAM AL-QUR'AN
Dengan maksud untuk mendapatkan keputusan Al-Qur'an
tentang hubungan Ibrahim dengan Azar, kami merasa perlu
mengundang perhatian pembaca pada keterangan dua ayat:
1. Sebagai akibat usaha keras Nabi, Arabia disinari
cahaya Islam. Kebanyakan rakyat memeluk agama ini
dengan sepenuh hati, dan menyadari bahwa syirik dan
pemujaan berhala akan berakhir di neraka. Walaupun
mereka bahagia karena telah memasuki agama yang benar,
mereka merasa sedih mengingat nenek moyang mereka
yang penyembah berhala. Mendengar ayat-ayat yang
menggambarkan nasib kaum musyrik di Hari Pengadilan,
terasa berat bagi mereka. Untuk menjauhkan siksaan
mental ini, mereka memohon kepada Nabi untuk berdoa
kepada Allah bagi keampunan nenek moyang mereka yang
telah mati sebagai orang kafir, sama sebagaimana
Ibrahim berdoa bagi Azar. Namun, ayat berikut
diwahyukan sebagai jawaban atas permohonan mereka:
"Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang
beriman memintakan ampun kepada Allah bagi orang
musyrik, walaupun orang musyrik itu adalah kaum
kerabatnya, sesudah jelas bagi mereka bahwasanya
orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam.
Permintaan ampun dari Ibrahim kepada Allah untuk
ayahnya, tidak lain hanyalah karena suatu janji yang
telah diikrarkannya kepada ayahnya itu. Tatkala jelas
bagi Ibrahim bahwa ayahnya itu adalah musuh Allah,
Ibrahim pun berlepas diri darinya. Sesungguhnya
Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya
bagi penyantun." (QS, at-Taubah, 9:113-114)
Akan nampak lebih masuk akal apabila percakapan
Ibrahim dengan Azar, dan janjinya kepada Azar untuk
mendoakan bagi keampunannya, yang berakhir dengan
putusnya hubungan serta perpisahan mereka, terjadi
ketika Ibrahim masih muda, yakni ketika ia masih
tinggal di Babilon dan belum berniat ke Palestina,
Mesir, dan Hijaz. Setelah mengkaji ayat ini, dapat
disimpulkan bahwa Azar bersikeras pada kekafiran dan
penyembahan berhalanya, dan Ibrahim, yang masih muda,
memutuskan hubungannya dengan Azar dan tak pernah
memikirkannya lagi sesudah itu.
2. Di bagian terakhir masa hidupnya, yakni ketika ia
telah lanjut usia, setelah melaksanakan sebagian besar
tugasnya (yakni pembangunan Ka'bah) dan membawa istri
dan anaknya ke gurun kering Mekah, ia berdoa dari lubuk
hatinya bagi sejumlah orang, termasuk kedua orang
tuanya, dan memohon agar doanya dikabulkan Allah. Pada
waktu itu beliau berdoa, "Ya Tuhan kami, beri ampunlah
aku dan kedua ibu bapaku dan sekalian orang mukmin pada
hari terjadinya hisab (hari kiamat)." (QS, Ibrahim
14:41)
Ayat ini menunjukkan dengan jelas bahwa doa itu
diucapkan setelah selesainya pembangunan Ka'bah, ketika
Ibrahim sudah berada di usia tuanya. Apabila sang ayah
dalam ayat ini, yang kepadanya telah ia persembahkan
cinta dan bakti dan yang didoakannya, adalah Azar itu,
maka ini akan berarti bahwa Ibrahim tidak berlepas diri
darinya sepanjang hidupnya, dan terkadang beliau juga
berdoa untuknya. Padahal, ayat pertama, yang diwahyukan
sebagai jawaban atas permohonan para keturunan
musyrikin itu, menjelaskan bahwa setelah suatu waktu,
ketika ia masih muda, Ibrahim telah memutuskan segala
hubungan dengan Azar dan menjauh darinya - berlepas
diri berarti tidak lagi saling berbicara, tidak peduli,
dan tidak saling mendoakan keselamatan.
Ketika dua ayat ini dibaca bersama-sama, terlihat jelas
bahwa orang yang dibenci Ibrahim di usia mudanya, yang
dengannya ia memutuskan segala hubungan kepentingan dan
cinta, bukanlah orang yang diingatnya hingga usia
tuanya, yang untuk keampunan dan keselamatannya ia
berdoa (lihat Majma' al-Bayan, III, hal. 319; al-Mizan,
VII, 170).
IBRAHIM, SI PENGHANCUR BERHALA
Saat perayaan mendekat, penduduk Babilon berangkat ke
hutan untuk melepaskan lelah, memulihkan tenaga mereka,
dan melaksanakan upacara perayaan itu. Kota menjadi
sepi. Perbuatan Ibrahim, celaan dan kecamannya, telah
mencemaskan mereka. Karena itu, mereka mendesak Ibrahim
untuk pergi bersama mereka dan ikut serta dalam upacara
perayaan. Namun, usul dan desakan mereka datang
bertepatan dengan sakitnya Ibrahim. Karena itu, sebagai
jawabannya, Ibrahim mengatakan sedang sakit dan tak
akan menyertai upacara perayaan itu.
Sesungguhnya, itulah hari gembira bagi sang tokoh
tauhid, sebagaimana bagi para musyrik itu. Bagi kaum
musyrik, itu adalah pesta perayaan yang sangat tua.
Mereka pergi ke kaki gunung di lapangan-lapangan hijau
untuk melaksanakan upacara perayaan dan menghidupkan
adat kebiasaan nenek moyang mereka. Bagi si jawara
tauhid, hari itu pun merupakan hari raya besar pertama
yang telah lama dirindukannya, untuk menghancurkan
manifestasi kekafiran dan kemusyrikan, ketika kota
sedang bersih dan lawan-lawannya.
Ketika "keloter" terakhir penduduk meninggalkan kota,
Ibrahim merasa bahwa saat itulah kesempatannya. Dengan
hati penuh keyakinan dan iman kepada Allah, beliau
memasuki rumah berhala. Di dalamnya beliau menemukan
penggalan-penggalan kayu berpahat, berhala-berhala yang
tak bernyawa. Ia ingat akan banyaknya makanan yang
biasa dibawa oleh para penyembah berhala ke kuil mereka
sebagai sajian untuk beroleh rahmat. Beliau lalu
mengambil sepiring roti yang ada di situ. Sambil
mengunjukkannya kepada berhala-berhala itu, beliau
berkata mengejek, "Mengapa tidak kamu makan segala
macam makanan ini?" Tentulah tuhan buatan kaum musyrik
itu tak mampu bergerak sedikit pun, apalagi memakan
sesuatu. Keheningan membisu menguasai kuil berhala yang
luas itu, yang hanya terpecah oleh pukulan-pukulan
keras Ibrahim pada tangan, kaki, dan tubuh
berhala-berhala itu. Ia menghancurkan semua berhala
itu, hingga menjadi tumpukan puing kayu dan logam yang
berhamburan di tengah kuil itu. Tetapi, ia membiarkan
berhala yang paling besar, lalu meletakkan kapak di
bahunya. Ini dilakukannya dengan sengaja. Ia tahu bahwa
ketika kembali dari hutan, kaum musyrik akan memahami
kedudukan sesungguhnya dan akan memandang situasi yang
nampak itu sebagai sengaja dibuat-buat, karena tak akan
mungkin mereka percaya bahwa penghancuran
berhala-berhala lain itu telah dilakukan oleh berhala
besar yang sama sekali tak berdaya untuk bergerak atau
melakukan sesuatu. Pada saat itu, beliau pun akan
menggunakan situasi itu untuk dakwah. Mereka sendiri
akan mengaku bahwa berhala itu sama sekali tidak
mempunyai kekuatan. Maka bagaimana mungkin ia akan
menjadi penguasa dunia?
Matahari bergerak turun di cakrawala. Orang mulai
pulang berkelompok-kelompok ke kota. Waktu untuk
melaksanakan upacara pemujaan berhala pun tiba, dan
sekelompok penyembah berhala memasuki kuil. Pemandangan
yang tak terduga, yang dengan jelas menunjukkan
nistanya dan rendahnya tuhan-tuhan mereka,
menghentakkan mereka semua. Hening seperti maut
meliputi kuil itu. Setiap orang gelisah. Tetapi, salah
seorang di antara mereka memecahkan kesunyian dengan
berkata, "Siapa yang telah melakukan kejahatan ini?"
Kutukan terhadap berhala oleh Ibrahim di waktu lalu,
dan kecamannya yang terang-terangan terhadap pemujaan
berhala, meyakinkan mereka bahwa hanya dialah yang
mungkin melakukan semua itu. Sidang pengadilan pun
diadakan di bawah pengawasan Namrud, dan si remaja
Ibrahim serta ibunya dibawa ke pengadilan.
Si ibu dituduh menyembunyikan kelahiran anaknya dan
tidak melaporkannya ke kantor khusus pemerintahan untuk
dibunuh. Ia memberikan jawaban atas tuduhan itu, "Saya
menyimpulkan bahwa sebagai akibat keputusan terakhir
pemerintah waktu itu -yakni pembunuhan anak-anak-
manusia di negara ini sedang dimusnahkan. Saya tidak
memberitahukan kepada kantor pemerintah tentang putra
saya, karena saya hendak melihat bagaimana ia maju di
masa depan. Apabila ia membuktikan diri sebagai orang
yang telah diramalkan para pendeta peramal itu, akan
ada alasan bagi saya untuk melaporkannya kepada polisi
agar mereka tidak lagi menumpahkan darah anak-anak
lain. Dan apabila ia ternyata bukan orang itu, maka
saya telah menyelamatkan seorang muda di negara ini
dari pembunuhan." Argumen ibu itu sangat memuaskan para
hakim.
Sekarang Ibrahim diperiksa. "Keadaan menunjukkan bahwa
berhala besar telah melakukan semua pukulan itu. Dan
apabila berhala itu dapat berkata, sebaiknya Anda
tanyakan kepadanya." Jawaban bernada ejekan dan
penghinaan ini dimaksudkan untuk mencapai sasaran lain.
Ibrahim yakin bahwa orang-orang itu akan berkata,
"Ibrahim! Engkau tahu sepenuhnya bahwa berhala-berhala
itu tak dapat berbicara. Mereka pun tidak mempunyai
kehendak atau akal." Dalam hal itu, Ibrahim dapat
meminta perhatian sidang pengadilan tentang satu hal
yang mendasar. Kebetulan, apa yang terjadi sama dengan
yang diharapkannya. Sehubungan dengan pernyataan
orang-orang itu yang membuktikan kelemahan, kehinaan,
dan tidak berdayanya berhala-berhala itu, Ibrahim
berkata, "Apabila mereka memang demikian, mengapa kamu
menyembah dan berdoa kepada mereka untuk mengabulkan
permohonan kamu?"
Kejahilan, keras kepala, dan peniruan membuta menguasai
hati dan pikiran para hakim. Terhadap jawaban Ibrahim
yang tak terbantah itu, mereka tidak beroleh pilihan
lain kecuali memberikan keputusan yang sesuai dengan
keinginan pemerintah masa itu. Ibrahim harus dibakar
hidup-hidup.
Setumpukan besar kayu bakar dinyalakan, dan jawara
tauhid itu dilemparkan ke dalam api yang berkobar.
Namun, Allah Yang Mahkuasa mengulurkan tangan kasih dan
rahmat-Nya kepada Ibrahim dan menjadikanNya kebal.
Allah mengubah neraka buatan manusia itu menjadi taman
hijau yang sejuk.
Ibrahim sangat menyadari bahwa Allah menguasai alam
semesta, tetapi pertanyaannya adalah: Apakah sumber
kekuatan itu terdiri dari benda-benda langit ini, atau
suatu Wujud Yang Mahakuasa, yang lebih tinggi
daripadanya? Setelah mengkaji kondisi-kondisi benda
yang berubah-ubah ini, Ibrahim mendapatkan bahwa
wujud-wujud yang cerah dan bersinar itu sendiri tunduk
pada ketetapan -terbit, terbenam, dan lenyap- menurut
sistem tertentu dan berotasi pada suatu jalan yang tak
berubah-ubah. Ini membuktikan bahwa mereka tunduk pada
kehendak dari sesuatu yang lain; suatu kekuatan yang
lebih besar dan lebih kuat mengontrol mereka dan
membuat mereka berotasi pada orbit yang telah
ditentukan.
Marilah kita bahas masalah ini lebih lanjut. Alam
semesta sepenuhnya memiliki "peluang-peluang" dan
"kebutuhan-kebutuhan." Berbagai makhluk dan fenomena
alami tak pernah lepas dari Yang Mahakuasa. Mereka
membutuhkan Tuhan Yang Mahatahu dalam setiap detik,
siang dan malam - Tuhan yang tidak pernah lalai akan
kebutuhan mereka. Benda-benda langit itu hadir dan
diperlukan pada suatu saat dan tak hadir serta tak
berguna pada saat lainnya. Wujud seperti itu tidak
mempunyai kemampuan yang diperlukan untuk menjadi tuhan
dan wujud lainnya, untuk memenuhi kebutuhan dan
keperluan mereka
Teori ini dapat diperluas dalam bentuk berbagai
pernyataan teoritis dan filosofis. Misalnya, kita
mungkin mengatakan: Benda-benda langit ini bergerak dan
berputar pada sumbunya masing-masing. Apabila
gerakannya itu tanpa pilihan dan atas paksaan
semata-mata, tentulah ada tangan yang lebih kuat yang
mengendalikannya. Apabila gerakannya sesuai dengan
kehendaknya sendiri, haruslah dilihat apakah tujuan
dari gerakan itu. Apabila mereka bergerak untuk
mencapai kesempurnaan, seperti benih yang bangkit dari
bumi untuk tumbuh menjadi pohon dan berbuah, maka itu
berarti mereka memerlukan suatu wujud yang independen,
kuasa, dan bijaksana yang akan menyingkirkan
kekurangan-kekurangan mereka dan menganugerahkan kepada
mereka sifat kesempurnaan. Apabila gerakan dan rotasi
mereka menuju kepada kelemahan dan kekurangan, dan
halnya seperti orang yang melewati usia puncaknya dan
memasuki sisi usia yang salah, maka itu berarti
gerakannya cenderung kepada kemunduran dan kehancuran,
dan dengan demikian tidak sesuai dengan posisi sebagai
tuhan yang akan menguasai dunia dan segala isinya.
METODE DISKUSI DAN DEBAT PARA NABI
Sejarah para nabi menunjukkan bahwa mereka memulai
program reformasi dengan mengundang para anggota
keluarga mereka kepada jalan yang benar, kemudian
mereka memperluas dakwah itu kepada orang lain. Ini
pulalah yang dilakukan Nabi Muhammad segera setelah
beliau ditunjuk sebagai nabi. Pertama-tama beliau
mengajak kaumnya sendiri kepada Islam, dan meletakkan
fundasi dakwahnya pada reformasi mereka, sesuai dengan
perintah Allah, "Dan berilah peringatan kepada
kerabat-kerabatmu yang terdekat." (QS, asy-Syu'ara',
26:2l3)
Ibrahim juga mengambil metode yang sama. Mula-mula
beliau berusaha mereformasi kaum kerabatnya. Azar
menduduki posisi yang sangat tinggi di kalangan
familinya, karena, selain terpelajar dan seorang
seniman, ia juga ahli astrologi. Di istana Namrud,
kata-katanya sangat berpengaruh, dan
kesimpulan-kesimpulan astrologinya diterima semua
penghuni istana.
Ibrahim sadar bahwa apabila ia herhasil meraih Azar ke
pihaknya maka ia akan merebut benteng terkuat dari para
penyembah berhala. Oleh karena itu, ia menasihatinya
dengan cara sebaik mungkin supaya tidak mcnyembah
benda-benda mati. Tetapi, karena beberapa alasan, Azar
tidak menerima ajakan dan nasihat Ibrahim. Namun,
sejauh berhubungan dengan kita, hal terpenting dalam
episode ini ialah metode dakwah dan bentuk percakapan
Ibrahim dengan Azar. Lewat kajian mendalam dan cermat
terhadap ayat-ayat Al-Qur'an yang merekam percakapan
ini, metode argumen dan dakwah yang ditempuh para nabi
itu menjadi amat sangat jelas. Marilah kita lihat
bagaimana Ibrahim mengajak Azar kepada jalan yang
benar:
"Ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya, 'Wahai
ayahku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak
mendengar; tidak melihat, dan tidak menolong kamu
sedikitpun. Wahai ayahku, sesungguhnya telah datang
kepadaku sebagian ilmu pengetahuan yang tidak datang
kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan
menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai ayahku,
janganlah kamu menyembah syaitan. Sesungguhnya syaitan
itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. Wahai
ayahku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan
ditimpa azab dan Tuhan Yang Maha Pemurah, sehingga
jadilah kamu kawan syaitan.'" (QS, Maryam, 19:42-45)
Sebagai jawaban atas ajakan Ibrahim, Azar berkata,
"Beranikah engkau menyangkal tuhan-tuhanku, hai
Ibrahim? Bertobatlah dari ketololan itu! Kalau tidak,
engkau akan dirajam sampai mati. Keluarlah segera dari
rumahku!"
Ibrahim yang murah hati menerima kata-kata kasar Azar
ini dengan ketenangan sempurna seraya menjawab, "Salam
atasmu. Aku akan memohon kepada Tuhanku untuk
mengampunimu."
Adakah jawaban yang lebih pantas dan ucapan yang lebih
patut daripada kata-kata Ibrahim ini?
APAKAH AZAR AYAH IBRAHIM?
Ayat-ayat yang dikutip di atas, maupun ayat (15) surah
at-Taubah dan (14) surah al-Mumtahanah, seakan memberi
kesan hubungan Azar dengan Ibrahim sebagai ayah dan
anak. Namun, perlu diinformasikan di sini bahwa dari
perspektif Syi'ah, penyembah berhala Azar sebagai ayah
Ibrahim tidaklah sesuai dengan konsensus para ulama
mereka yang percaya bahwa nenek moyang Nabi Muhammad
maupun semua nabi lainnya adalah orang-orang takwa yang
beriman tauhid. Ulama besar Syi'ah, Syekh Mufid,
memandang anggapan ini sebagai salah satu pendapat yang
disepakati seluruh ulama Syi'ah dan sejumlah besar
ulama Sunni (lihat Awa'il al-Malaqat, hal. 12). Oleh
karena itu, timbul pertanyaan: Apakah sesungguhnya
maksud ayat-ayat yang nampak jelas itu, dan bagaimana
masalah ini harus dipecahkan?
Banyak mufasir Al-Qur'an menegaskan bahwa walaupun kata
ab dalam bahasa Arab biasanya digunakan dalam arti
"ayah," kadang-kadang kata itu juga digunakan dalam
leksikon Arab dan terminologi Al-Qur'an dalam arti
"paman." Dalam ayat berikut, misalnya, kata ab berarti
"paman"
"Adakah kamu hadir ketika Ya'qub kedatangan
[tanda-tanda] maut, ketika ia berkata kepada
anak-anaknya, 'Apa yang kamu sembah sepeninggalku?'
Mereka menjawab, 'Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan
ab-Smu, [yakni] Ibrahim, Isma'il, dan Ishaq, [yaitu]
Tuhan Yang Maha Esa, dan kami hanya tunduk patuh
kepada-Nya." (QS, al-Baqarah, 2:133)
Tiada keraguan bahwa Isma'il adalah paman Ya'qub, bukan
ayahnya, karena Ya'qub adalah putra Ishaq yang saudara
Isma'il. Walaupun demikian, putra-putra Ya'qub
memanggilnya "ayah Ya'qub" yakni ab Ya'qub. Karena kata
ini mengandung dua makna, maka pada ayat-ayat yang
berhubungan dengan diajaknya Azar ke jalan yang benar
oleh Ibrahim, boleh jadi yang dimaksud dengannya adalah
"paman." Dan boleh jadi pula Ibrahim memanggilnya
"ayah," karena ia telah bertindak sebagai wali baginya
dalam waktu yang panjang, dan Ibrahim memandangnya
sebagai ayahnya.
AZAR DALAM AL-QUR'AN
Dengan maksud untuk mendapatkan keputusan Al-Qur'an
tentang hubungan Ibrahim dengan Azar, kami merasa perlu
mengundang perhatian pembaca pada keterangan dua ayat:
1. Sebagai akibat usaha keras Nabi, Arabia disinari
cahaya Islam. Kebanyakan rakyat memeluk agama ini
dengan sepenuh hati, dan menyadari bahwa syirik dan
pemujaan berhala akan berakhir di neraka. Walaupun
mereka bahagia karena telah memasuki agama yang benar,
mereka merasa sedih mengingat nenek moyang mereka
yang penyembah berhala. Mendengar ayat-ayat yang
menggambarkan nasib kaum musyrik di Hari Pengadilan,
terasa berat bagi mereka. Untuk menjauhkan siksaan
mental ini, mereka memohon kepada Nabi untuk berdoa
kepada Allah bagi keampunan nenek moyang mereka yang
telah mati sebagai orang kafir, sama sebagaimana
Ibrahim berdoa bagi Azar. Namun, ayat berikut
diwahyukan sebagai jawaban atas permohonan mereka:
"Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang
beriman memintakan ampun kepada Allah bagi orang
musyrik, walaupun orang musyrik itu adalah kaum
kerabatnya, sesudah jelas bagi mereka bahwasanya
orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam.
Permintaan ampun dari Ibrahim kepada Allah untuk
ayahnya, tidak lain hanyalah karena suatu janji yang
telah diikrarkannya kepada ayahnya itu. Tatkala jelas
bagi Ibrahim bahwa ayahnya itu adalah musuh Allah,
Ibrahim pun berlepas diri darinya. Sesungguhnya
Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya
bagi penyantun." (QS, at-Taubah, 9:113-114)
Akan nampak lebih masuk akal apabila percakapan
Ibrahim dengan Azar, dan janjinya kepada Azar untuk
mendoakan bagi keampunannya, yang berakhir dengan
putusnya hubungan serta perpisahan mereka, terjadi
ketika Ibrahim masih muda, yakni ketika ia masih
tinggal di Babilon dan belum berniat ke Palestina,
Mesir, dan Hijaz. Setelah mengkaji ayat ini, dapat
disimpulkan bahwa Azar bersikeras pada kekafiran dan
penyembahan berhalanya, dan Ibrahim, yang masih muda,
memutuskan hubungannya dengan Azar dan tak pernah
memikirkannya lagi sesudah itu.
2. Di bagian terakhir masa hidupnya, yakni ketika ia
telah lanjut usia, setelah melaksanakan sebagian besar
tugasnya (yakni pembangunan Ka'bah) dan membawa istri
dan anaknya ke gurun kering Mekah, ia berdoa dari lubuk
hatinya bagi sejumlah orang, termasuk kedua orang
tuanya, dan memohon agar doanya dikabulkan Allah. Pada
waktu itu beliau berdoa, "Ya Tuhan kami, beri ampunlah
aku dan kedua ibu bapaku dan sekalian orang mukmin pada
hari terjadinya hisab (hari kiamat)." (QS, Ibrahim
14:41)
Ayat ini menunjukkan dengan jelas bahwa doa itu
diucapkan setelah selesainya pembangunan Ka'bah, ketika
Ibrahim sudah berada di usia tuanya. Apabila sang ayah
dalam ayat ini, yang kepadanya telah ia persembahkan
cinta dan bakti dan yang didoakannya, adalah Azar itu,
maka ini akan berarti bahwa Ibrahim tidak berlepas diri
darinya sepanjang hidupnya, dan terkadang beliau juga
berdoa untuknya. Padahal, ayat pertama, yang diwahyukan
sebagai jawaban atas permohonan para keturunan
musyrikin itu, menjelaskan bahwa setelah suatu waktu,
ketika ia masih muda, Ibrahim telah memutuskan segala
hubungan dengan Azar dan menjauh darinya - berlepas
diri berarti tidak lagi saling berbicara, tidak peduli,
dan tidak saling mendoakan keselamatan.
Ketika dua ayat ini dibaca bersama-sama, terlihat jelas
bahwa orang yang dibenci Ibrahim di usia mudanya, yang
dengannya ia memutuskan segala hubungan kepentingan dan
cinta, bukanlah orang yang diingatnya hingga usia
tuanya, yang untuk keampunan dan keselamatannya ia
berdoa (lihat Majma' al-Bayan, III, hal. 319; al-Mizan,
VII, 170).
IBRAHIM, SI PENGHANCUR BERHALA
Saat perayaan mendekat, penduduk Babilon berangkat ke
hutan untuk melepaskan lelah, memulihkan tenaga mereka,
dan melaksanakan upacara perayaan itu. Kota menjadi
sepi. Perbuatan Ibrahim, celaan dan kecamannya, telah
mencemaskan mereka. Karena itu, mereka mendesak Ibrahim
untuk pergi bersama mereka dan ikut serta dalam upacara
perayaan. Namun, usul dan desakan mereka datang
bertepatan dengan sakitnya Ibrahim. Karena itu, sebagai
jawabannya, Ibrahim mengatakan sedang sakit dan tak
akan menyertai upacara perayaan itu.
Sesungguhnya, itulah hari gembira bagi sang tokoh
tauhid, sebagaimana bagi para musyrik itu. Bagi kaum
musyrik, itu adalah pesta perayaan yang sangat tua.
Mereka pergi ke kaki gunung di lapangan-lapangan hijau
untuk melaksanakan upacara perayaan dan menghidupkan
adat kebiasaan nenek moyang mereka. Bagi si jawara
tauhid, hari itu pun merupakan hari raya besar pertama
yang telah lama dirindukannya, untuk menghancurkan
manifestasi kekafiran dan kemusyrikan, ketika kota
sedang bersih dan lawan-lawannya.
Ketika "keloter" terakhir penduduk meninggalkan kota,
Ibrahim merasa bahwa saat itulah kesempatannya. Dengan
hati penuh keyakinan dan iman kepada Allah, beliau
memasuki rumah berhala. Di dalamnya beliau menemukan
penggalan-penggalan kayu berpahat, berhala-berhala yang
tak bernyawa. Ia ingat akan banyaknya makanan yang
biasa dibawa oleh para penyembah berhala ke kuil mereka
sebagai sajian untuk beroleh rahmat. Beliau lalu
mengambil sepiring roti yang ada di situ. Sambil
mengunjukkannya kepada berhala-berhala itu, beliau
berkata mengejek, "Mengapa tidak kamu makan segala
macam makanan ini?" Tentulah tuhan buatan kaum musyrik
itu tak mampu bergerak sedikit pun, apalagi memakan
sesuatu. Keheningan membisu menguasai kuil berhala yang
luas itu, yang hanya terpecah oleh pukulan-pukulan
keras Ibrahim pada tangan, kaki, dan tubuh
berhala-berhala itu. Ia menghancurkan semua berhala
itu, hingga menjadi tumpukan puing kayu dan logam yang
berhamburan di tengah kuil itu. Tetapi, ia membiarkan
berhala yang paling besar, lalu meletakkan kapak di
bahunya. Ini dilakukannya dengan sengaja. Ia tahu bahwa
ketika kembali dari hutan, kaum musyrik akan memahami
kedudukan sesungguhnya dan akan memandang situasi yang
nampak itu sebagai sengaja dibuat-buat, karena tak akan
mungkin mereka percaya bahwa penghancuran
berhala-berhala lain itu telah dilakukan oleh berhala
besar yang sama sekali tak berdaya untuk bergerak atau
melakukan sesuatu. Pada saat itu, beliau pun akan
menggunakan situasi itu untuk dakwah. Mereka sendiri
akan mengaku bahwa berhala itu sama sekali tidak
mempunyai kekuatan. Maka bagaimana mungkin ia akan
menjadi penguasa dunia?
Matahari bergerak turun di cakrawala. Orang mulai
pulang berkelompok-kelompok ke kota. Waktu untuk
melaksanakan upacara pemujaan berhala pun tiba, dan
sekelompok penyembah berhala memasuki kuil. Pemandangan
yang tak terduga, yang dengan jelas menunjukkan
nistanya dan rendahnya tuhan-tuhan mereka,
menghentakkan mereka semua. Hening seperti maut
meliputi kuil itu. Setiap orang gelisah. Tetapi, salah
seorang di antara mereka memecahkan kesunyian dengan
berkata, "Siapa yang telah melakukan kejahatan ini?"
Kutukan terhadap berhala oleh Ibrahim di waktu lalu,
dan kecamannya yang terang-terangan terhadap pemujaan
berhala, meyakinkan mereka bahwa hanya dialah yang
mungkin melakukan semua itu. Sidang pengadilan pun
diadakan di bawah pengawasan Namrud, dan si remaja
Ibrahim serta ibunya dibawa ke pengadilan.
Si ibu dituduh menyembunyikan kelahiran anaknya dan
tidak melaporkannya ke kantor khusus pemerintahan untuk
dibunuh. Ia memberikan jawaban atas tuduhan itu, "Saya
menyimpulkan bahwa sebagai akibat keputusan terakhir
pemerintah waktu itu -yakni pembunuhan anak-anak-
manusia di negara ini sedang dimusnahkan. Saya tidak
memberitahukan kepada kantor pemerintah tentang putra
saya, karena saya hendak melihat bagaimana ia maju di
masa depan. Apabila ia membuktikan diri sebagai orang
yang telah diramalkan para pendeta peramal itu, akan
ada alasan bagi saya untuk melaporkannya kepada polisi
agar mereka tidak lagi menumpahkan darah anak-anak
lain. Dan apabila ia ternyata bukan orang itu, maka
saya telah menyelamatkan seorang muda di negara ini
dari pembunuhan." Argumen ibu itu sangat memuaskan para
hakim.
Sekarang Ibrahim diperiksa. "Keadaan menunjukkan bahwa
berhala besar telah melakukan semua pukulan itu. Dan
apabila berhala itu dapat berkata, sebaiknya Anda
tanyakan kepadanya." Jawaban bernada ejekan dan
penghinaan ini dimaksudkan untuk mencapai sasaran lain.
Ibrahim yakin bahwa orang-orang itu akan berkata,
"Ibrahim! Engkau tahu sepenuhnya bahwa berhala-berhala
itu tak dapat berbicara. Mereka pun tidak mempunyai
kehendak atau akal." Dalam hal itu, Ibrahim dapat
meminta perhatian sidang pengadilan tentang satu hal
yang mendasar. Kebetulan, apa yang terjadi sama dengan
yang diharapkannya. Sehubungan dengan pernyataan
orang-orang itu yang membuktikan kelemahan, kehinaan,
dan tidak berdayanya berhala-berhala itu, Ibrahim
berkata, "Apabila mereka memang demikian, mengapa kamu
menyembah dan berdoa kepada mereka untuk mengabulkan
permohonan kamu?"
Kejahilan, keras kepala, dan peniruan membuta menguasai
hati dan pikiran para hakim. Terhadap jawaban Ibrahim
yang tak terbantah itu, mereka tidak beroleh pilihan
lain kecuali memberikan keputusan yang sesuai dengan
keinginan pemerintah masa itu. Ibrahim harus dibakar
hidup-hidup.
Setumpukan besar kayu bakar dinyalakan, dan jawara
tauhid itu dilemparkan ke dalam api yang berkobar.
Namun, Allah Yang Mahkuasa mengulurkan tangan kasih dan
rahmat-Nya kepada Ibrahim dan menjadikanNya kebal.
Allah mengubah neraka buatan manusia itu menjadi taman
hijau yang sejuk.
IBRAHIM BAPAK TAUHID UMAT MANUSIA
MENGAPA ADA PEMUJAAN KEPADA MAKHLUK
Faktor-faktor yang menimbulkan penyembahan manusia
kepada ciptaan adalah ketidaktahuannya dan tuntutan
alami yang mutlak dalam dirinya yang pada umumnya
mempercayai adanya suatu penyebab bagi setiap fenomena.
Di satu sisi, manusia, yang dikuasai oleh kodrat alami,
merasa harus mencari perlindungan di suatu tempat, pada
suatu pewenang kuat yang mampu menciptakan sistem yang
unik ini. Namun, di sisi lain, ketika ia bermaksud
menempuh jalan ini tanpa tuntunan para nabi -pemandu
Ilahi dan telah ditunjuk untuk menjamin kesempurnaan
perjalanan rohani manusia- ia mencari perlindungan pada
makhluk-makhluk tak-bernyawa, hewan, ataupun sesama
manusia sebelum ia dapat mencapai tujuannya yang
sesungguhnya, yakni Tuhan Yang Esa, dan mendapatkan
jejak-jejak-Nya dengan mengamati tanda-tanda penciptaan
dan mencari perlindungan pada-Nya. Oleh karena itu, ia
membayangkan bahwa inilah obyek yang dicari-carinya.
Melihat ini, para ilmuwan mengakui, setelah mengkaji
kitab-kitab Ilahi dan cara bagaimana dakwah disampaikan
kepada manusia oleh para nabi serta argumentasi mereka,
bahwa tujuan para nabi bukanlah untuk meyakinkan
manusia tentang adanya pencipta alam semesta.
Sesungguhnya, peran mereka yang mendasar ialah
membebaskan manusia dan cengkeraman syirik (politeisme)
dan penyembahan berhala. Dengan kata lain, mereka
datang untuk mengatakan kepada manusia, "Hai manusia!
Allah yang kita semua percaya akan keberadaan-Nya
adalah ini, bukan itu. Ia esa, bukan berbilang. Jangan
memberikan status Allah kepada makhluk. Terimalah Allah
sebagai Yang Esa. Jangan menerima mitra atau sekutu apa
pun bagi-Nya."
Kalimat "tiada Tuhan selain Allah," membuktikan apa
yang kami katakan di atas. Inilah titik mula dakwah
Nabi Muhammad. Maksud kalimat ini ialah, tak ada
sesuatu yang patut disembah selain Allah, dan ini
berarti bahwa adanya Pencipta telah merupakan fakta
yang diakui, sehingga manusia dapat diajak untuk
menerima kemaha-esaan-Nya. Kalimat ini menunjukkan
bahwa di mata manusia zaman itu, bagian pertama -adanya
Tuhan yang menguasai alam semesta- bukanlah hal yang
perlu dipertengkarkan. Disamping itu, kajian terhadap
kisah-kisah Qur'ani dan percakapan para nabi dengan
umat zamannya memperjelas masalah ini.
[Catatan kaki: Tetapi, bagaimana konsepsi mereka
tentang berhala? Apakah mereka memandangnya patut
disembah dan hanya untuk menjadi perantara, ataukah
mereka berpikir bahwa berhala-berhala itu pun mempunyai
kekuasaan seperti Allah? Masalah ini berada di luar
bahasan kita sekarang, walaupun pandangan pertama itu
kuat dan terbukti.]
TEMPAT KELAHIRAN NABI IBRAHIM
Jawara Tauhid ini dilahirkan di lingkungan gelap
penyembahan berhala dan penyembahan manusia. Manusia
menundukkan kerendahan hati kepada berhala yang dibuat
dengan tangannya sendiri, atau kepada bintang-bintang.
Dalam situasi ini, hal yang mengangkat kedudukan
Ibrahim dan menyukseskan usahanya adalah kesabaran dan
ketabahannya.
Tempat kelahiran pembawa panji tauhid ini adalah
Babilon. Para sejarawan telah menyatakan negeri itu
sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia. Mereka
telah mencatat banyak riwayat tentang keagungan dan
kehebatan peradaban wilayah itu. Sejarawan Yunani
kenamaan, Herodotus (483-425 SM), menulis, "Babilon
dibangun di sebuah lapangan persegi-panjang setiap
sisinya 480 km (120 league), sehingga kelilingnya 1.920
km. Pernyataan ini, betapapun dibesar-besarkan,
mengungkapkan realitas yang tak terbantah-apabila
dibaca bersama tulisan-tulisan lainnya.
Namun, dari pemandangannya yang menarik dan
istana-istananya yang tinggi, tak ada lagi yang dapat
dilihat sekarang selain tumpukan lempung, di antara
sungai Tigris dan Efrat, yang diliputi kebungkaman
maut. Kebungkaman itu kadang-kadang dipecahkan oleh
para orientalis yang melakukan penggalian untuk
mendapatkan informasi tentang peradaban Babilonia.
Nabi Ibrahim, pelopor tauhid, dilahirkan di masa
pemerintahan Namrud putra Kan'an. Walaupun Namrud
menyembah berhala, ia juga mengaku sebagai tuhan
(dewa). Dengan memanfaatkan kejahilan rakyat yang mudah
percaya, ia memaksakan kepercayaannya kepada mereka.
Mungkin nampak agak ganjil bahwa seorang penyembah
berhala mengaku pula sebagai dewa. Namun, Al-Qur'an
memberikan kepada kita suatu contoh lain tentang
kepercayaan ini. Ketika Musa mengguncang kekuasaan
Fir'aun dengan logikanya yang kuat dan menguak
kebohongannya dalam suatu pertemuan umum, para
pendukung Fir'aun berkata kepadanya, "Apakah kamu
membiarkan Musa dan kaumnya membuat kerusakan di negeri
ini (Mesir) dan meninggalkan kamu serta tuhan-tuhanmu?"
(QS, Surah al-A'raf, 7:127). Telah termasyhur bahwa
Fir'aun mengaku sebagai tuhan dan biasa menyerukan,
"Aku adalah tuhanmu yang tertinggi." Namun ayat ini
menunjukkan bahwa ia juga seorang penyembah berhala.
Dukungan terbesar yang diperoleh Namrud datang dari
para astrolog dan penenung yang dipandang sebagai
orang-orang pintar di zaman itu. Ketundukan mereka ini
membuka jalan bagi Namrud untuk memanfaatkan kaum
tertindas dan kalangan bodoh. Selain itu, sebagian
famili Ibrahim, misalnya Azar yang membuat berhala dan
juga memahami astrologi, termasuk pengikut Namrud. Ini
saja sudah merupakan halangan besar bagi Ibrahim,
karena di samping harus berjuang melawan kepercayaan
umum itu, ia juga harus menghadapi perlawanan kaum
kerabatnya sendiri.
Namrud telah menerjunkan diri ke dalam laut kepercayaan
takhayul. Ia telah membentangkan permadani untuk pesta
dan minum-minum ketika para astrolog membunyikan
lonceng bahaya pertama seraya mengatakan, "Pemerintahan
Anda akan runtuh melalui seorang putra negeri ini."
Ketakutan laten Namrud bangkit. Ia bertanya, "Apakah ia
telah lahir atau belum?" Para astrolog itu menjawab
bahwa ia belum lahir. Ia kemudian memerintahkan supaya
diadakan pemisahan antara perempuan dan laki-laki-di
malam yang, menurut ramalan para astrolog, kehamilan
musuh mautnya itu akan terjadi. Walaupun demikian, para
algojonya membunuh anak-anak laki-laki. Para bidan
diperintahkan untuk melaporkan rincian tentang
anak-anak yang baru lahir ke suatu kantor khusus.
Pada malam itu juga terjadi kehamilan Ibrahim. Ibunya
hamil dan, seperti ibu Musa putra 'Imran, ia
merahasiakan kehamilan itu. Setelah melahirkan, ia
menyelamatkan diri ke suatu gua yang terletak di dekat
kota itu, untuk melindungi nyawa anaknya tersayang. Ia
meninggalkan anaknya di suatu sudut gua, dan
mengunjunginya di waktu siang atau malam, tergantung
situasi. Dengan berlalunya waktu, Namrud merasa aman.
Ia percaya bahwa musuh tahta dan pemerintahannya telah
dibunuh.
Ibrahim menjalani tiga belas tahun kehidupannya dalam
sebuah gua dengan lorong masuk yang sempit, sebelum
ibunya membawanya keluar. Ketika muncul di tengah
masyarakat, para pendukung Namrud merasa bahwa ia orang
asing. Terhadap hal itu, ibunya berkata, "Ini anak
saya. Ia lahir sebelum ramalan para astrolog." (Tafsir
al-Burhan, I, h. 535).
Ketika keluar dari gua, Ibrahim memperkuat keyakinan
batinnya dalam tauhid dengan mengamati bumi dan langit,
bintang-bintang yang bersinar, dan pohon-pohonan yang
hijau. Ia menyaksikan masyarakat yang aneh. Dilihatnya
sekelompok orang yang memperlakukan sinar bintang
dengan sangat tolol. Ia juga melihat beberapa orang
dengan tingkat kecerdasan yang bahkan lebih rendah.
Mereka membuat berhala dengan tangan sendiri, kemudian
menyembahnya. Yang terburuk dari semuanya ialah bahwa
seorang manusia, dengan mengambil keuntungan secara tak
semestinya dari kejahilan dan kebodohan rakyat, mengaku
sebagai tuhan mereka dan menyatakan diri sebagai
pemberi hidup kepada semua makhluk dan penakdir semua
peristiwa.
Nabi Ibrahim merasa harus mempersiapkan diri untuk
memerangi tiga kelompok yang berbeda ini.
IBRAHIM BERJUANG MELAWAN PENYEMBAHAN BERHALA
Kegelapan penyembahan berhala telah meliputi seluruh
Babilon, tempat lahir Nabi Ibrahim, Banyak tuhan dunia
dan langit telah merenggut hak menalar dan berpikir
dari berbagai lapisan masyarakat. Sebagiannya memandang
tuhan-tuhan itu memiliki kekuasaan sendiri, sedang yang
lainnya memperlakukan mereka sebagai perantara untuk
memperoleh nikmat dari Tuhan Yang Mahakuasa.
RAHASIA POLITEISME
Orang Arab sebelum datangnya Islam percaya bahwa setiap
makhluk dan setiap gejala tentulah mempunyai penyebab
tersendiri, dan bahwa Tuhan Yang Esa tidak mampu
menciptakan semuanya. Pada masa itu, ilmu pengetahuan
memang belum menemukan hubungan antara makhluk dan
fenomena alami serta berbagai kejadian. Sebagai
akibatnya, orang-orang itu mengkhayalkan bahwa semua
mahluk dan berbagai fenomena alami berdiri
sendiri-sendiri dan tidak ada kaitan satu sama lain.
Karena itu, mereka menganggap bahwa untuk setiap
fenomena seperti hujan dan salju, gempa bumi dan
kematian, paceklik dan kesukaran, perdamaian dan
ketentraman, kekejaman dan pertumpahan darah, dan
sebagainya, ada tuhannya masing-masing. Mereka tak
menyadari bahwa seluruh alam semesta adalah suatu
kesatuan, di mana bagiannya saling terkait dan
masing-masingnya mempunyai efek timbal balik.
Pikiran bersahaja manusia masa itu belum mengetahui
rahasia penyembahan kepada Allah Yang Esa dan tidak
menyadari bahwa Allah yang menguasai alam semesta
adalah Tuhan Yang Mahakuasa dan Mahatahu, Pencipta yang
bebas dari segala kelemahan dan cacat. Kekuasaan,
kesempurnaan, pengetahuan, dan kebijaksanaanNya tiada
berbatas. Ia di atas segala sesuatu yang dianggapkan
kepada-Nya. Tak ada kesempurnaan yang tidak Ia miliki.
Tak ada kemungkinan yang tak dapat diciptakan-Nya. Ia
adalah Allah Yang Esa yang mampu menciptakan segala
makhluk dan fenomena tanpa bantuan dan dukungan siapa
pun. Ia dapat menciptakan makhluk lain dengan cara yang
sama sebagaimana Ia menciptakan makhluk-makhluk yang
ada sekarang.
Karena itu, secara nalar, adanya perantaraan dari suatu
wewenang yang dapat mengurangi kemandirian kehendak
Allah yang tidak bersekutu, tidak dapat diterima.
Kepercayaan bahwa alam semesta mempunyai dua pencipta,
yang satu merupakan sumber kebaikan dan cahaya sedang
yang satu lagi merupakan sumber kejahatan dan
kegelapan, juga tak dapat diterima. Kepercayaan bahwa
ada perantaraan oleh seseorang, seperti Maryam dan
'Isa, dalam hal penciptaan alam semesta, atau bahwa
pengaturan tatanan dunia fisik telah dikuasakan pada
seorang manusia, merupakan manifestasi syirik dan
kelebih-lebihan. Penganut tauhid, dengan rasa hormat
yang sewajarnya kepada para nabi dan orang suci,
memelihara keyakinan pada Pencipta Alam Semesta, dan
tidak menyekutukan-Nya dengan yang lain.
Metode yang digunakan para nabi untuk memberi pelajaran
dan tuntutan kepada manusia ialah metode logika dan
penalaran, karena mereka berurusan dengan pikiran
manusia. Mereka berhasrat mendirikan pemerintahan yang
didasarkan pada keimanan, pengetahuan, dan keadilan,
dan pemerintahan semacam itu tak dapat didirikan
melalui kekerasan, peperangan, dan pertumpahan darah.
Oleh karena itu, kita harus membedakan pemerintahan
para nabi dengan pemerintahan Fir'aun dan Namrud.
Tujuan dari kelompok yang kedua ini ialah amannya
kekuasaan dan pemerintahan mereka dengan segala cara
yang mungkin, sekalipun negara akan runtuh setelah
mereka mati. Sebaliknya, orang-orang suci bermaksud
mendirikan pemerintahan yang membawa maslahat pada
individu maupun masyarakat, baik penguasa itu kuat atau
lemah pada suatu waktu tertentu, sementara ia hidup
maupun sesudah ia mati. Tujuan semacam itu tentu saja
tak dapat dicapai dengan kekerasan dan tekanan.
Ibrahim pertama-tama berjuang melawan kepercayaan kaum
kerabatnya yang menyembah berhala, di mana Azar
merupakan pentolannya. Sebelum mencapai keberhasilan
penuh dalam bidang ini, ia sudah harus berjuang pada
bidang operasi lainnya. Taraf pemikiran kelompok yang
kedua ini agak lebih tinggi dan lebih jelas dari yang
pertama. Berlawanan dengan agama para famili Ibrahim,
mereka ini telah membuang makhluk-makhluk duniawi yang
hina dan tak berharga, lalu memuja bintang di langit.
Ketika melawan pemujaan bintang, Ibrahim menyatakan
dengan kata-kata sederhana sejumlah kebenaran filosofis
dan ilmiah yang belum dipahami oleh manusia di zaman
itu, bahkan sekarang pun argumennya menimbulkan
kekaguman para sarjana yang sangat mengenal seni logika
dan perdebatan. Di atas semua ini, Al-Qur'an juga telah
mengutip argumen-argumen Ibrahim, dan kami mendapat
kehormatan untuk mengutipnya dengan penjelasan singkat.
Untuk dapat menuntun masyarakatnya, suatu malam Ibrahim
menatap ke langit di saat terbenamnya matahari dan
terus terjaga hingga ia terbenam lagi di hari
berikutnya. Selama 24 jam ini ia berdebat dan
berdiskusi dengan tiga kelompok, dan menyalahkan
kepercayaan mereka dengan argumen-argumennya yang kuat.
Kegelapan malam mendekat dan menyembunyikan segala
tanda kehidupan. Bintang Venus yang cemerlang muncul
dari suatu sudut cakrawala. Untuk merebut hati para
pemuja Venus, Ibrahim menyesuaikan diri dengan mereka
dan mengikuti garis pikiran mereka seraya mengatakan,
"Itu adalah pemeliharaku." Namun, ketika bintang itu
tenggelam dan menghilang di suatu sudut, ia berkata,
"Saya tak dapat menerima tuhan yang tenggelam." Dengan
penalarannya yang alami, ia menolak kepercayaan para
pemuja Venus dan membuktikan kebatilannya.
Pada tahap berikutnya, matanya tertuju pada bundaran
bulan yang bercahaya terang dengan keindahannya yang
memukau. Dengan maksud merebut hati pemuja bulan,
secara lahiriah ia bersikap seakan bulan itu tuhan,
tapi kemudian ia merontokkan kepercayaan itu dengan
logikanya yang kuat. Demikianlah, ketika Yang Mahakuasa
membenamkan bulan itu di balik cakrawala, dan cahaya
serta keindahannya lenyap dari muka bumi, maka tanpa
menyinggung perasaan para pemuja bulan itu, Ibrahim
berkata, "Apabila Tuhanku yang sesungguhnya tidak
membimbing aku, tentulah aku tersesat, karena tuhan ini
terbenam seperti bintang dan tunduk pada suatu tatanan
dan sistem yang pasti yang dibentuk oleh sesuatu yang
lain."
Kegelapan malam berakhir dan matahari pun muncul,
membuka cakrawala, dan menyebarkan sinar keemasannya ke
muka bumi. Para pemuja matahari memalingkan wajah
mereka kepada tuhannya. Untuk menaati aturan
perdebatan, Ibrahim juga bersikap seolah mengakui
ketuhanan matahari. Namun, terbenamnya matahari
mengukuhkan bahwa ia tunduk pada suatu sistem alam
semesta yang umum, dan Ibrahim secara terbuka
menolaknya sebagai yang patut disembah.(lihat QS,
al-An'am, 6:75-79)
Tak diragukan bahwa saat tinggal di gua, melalui
anugerah Ilahi yang luar biasa, Ibrahim mendapatkan
dari sumber yang gaib pengetahuan batin tentang tauhid,
yang merupakan kekhususan para nabi. Namun, setelah
memperhatikan dan mengkaji benda-benda langit, ia juga
memberikan bentuk argumentasi pada pengetahuan itu.
Dengan demikian, di samping menunjukkan jalan yang
benar kepada manusia dan memberikan kepada mereka
sarana bimbingan, Ibrahim telah meninggalkan
pengetahuan yang tak ternilai untuk digunakan oleh
orang-orang yang mencan kebenaran dan realitas.
Faktor-faktor yang menimbulkan penyembahan manusia
kepada ciptaan adalah ketidaktahuannya dan tuntutan
alami yang mutlak dalam dirinya yang pada umumnya
mempercayai adanya suatu penyebab bagi setiap fenomena.
Di satu sisi, manusia, yang dikuasai oleh kodrat alami,
merasa harus mencari perlindungan di suatu tempat, pada
suatu pewenang kuat yang mampu menciptakan sistem yang
unik ini. Namun, di sisi lain, ketika ia bermaksud
menempuh jalan ini tanpa tuntunan para nabi -pemandu
Ilahi dan telah ditunjuk untuk menjamin kesempurnaan
perjalanan rohani manusia- ia mencari perlindungan pada
makhluk-makhluk tak-bernyawa, hewan, ataupun sesama
manusia sebelum ia dapat mencapai tujuannya yang
sesungguhnya, yakni Tuhan Yang Esa, dan mendapatkan
jejak-jejak-Nya dengan mengamati tanda-tanda penciptaan
dan mencari perlindungan pada-Nya. Oleh karena itu, ia
membayangkan bahwa inilah obyek yang dicari-carinya.
Melihat ini, para ilmuwan mengakui, setelah mengkaji
kitab-kitab Ilahi dan cara bagaimana dakwah disampaikan
kepada manusia oleh para nabi serta argumentasi mereka,
bahwa tujuan para nabi bukanlah untuk meyakinkan
manusia tentang adanya pencipta alam semesta.
Sesungguhnya, peran mereka yang mendasar ialah
membebaskan manusia dan cengkeraman syirik (politeisme)
dan penyembahan berhala. Dengan kata lain, mereka
datang untuk mengatakan kepada manusia, "Hai manusia!
Allah yang kita semua percaya akan keberadaan-Nya
adalah ini, bukan itu. Ia esa, bukan berbilang. Jangan
memberikan status Allah kepada makhluk. Terimalah Allah
sebagai Yang Esa. Jangan menerima mitra atau sekutu apa
pun bagi-Nya."
Kalimat "tiada Tuhan selain Allah," membuktikan apa
yang kami katakan di atas. Inilah titik mula dakwah
Nabi Muhammad. Maksud kalimat ini ialah, tak ada
sesuatu yang patut disembah selain Allah, dan ini
berarti bahwa adanya Pencipta telah merupakan fakta
yang diakui, sehingga manusia dapat diajak untuk
menerima kemaha-esaan-Nya. Kalimat ini menunjukkan
bahwa di mata manusia zaman itu, bagian pertama -adanya
Tuhan yang menguasai alam semesta- bukanlah hal yang
perlu dipertengkarkan. Disamping itu, kajian terhadap
kisah-kisah Qur'ani dan percakapan para nabi dengan
umat zamannya memperjelas masalah ini.
[Catatan kaki: Tetapi, bagaimana konsepsi mereka
tentang berhala? Apakah mereka memandangnya patut
disembah dan hanya untuk menjadi perantara, ataukah
mereka berpikir bahwa berhala-berhala itu pun mempunyai
kekuasaan seperti Allah? Masalah ini berada di luar
bahasan kita sekarang, walaupun pandangan pertama itu
kuat dan terbukti.]
TEMPAT KELAHIRAN NABI IBRAHIM
Jawara Tauhid ini dilahirkan di lingkungan gelap
penyembahan berhala dan penyembahan manusia. Manusia
menundukkan kerendahan hati kepada berhala yang dibuat
dengan tangannya sendiri, atau kepada bintang-bintang.
Dalam situasi ini, hal yang mengangkat kedudukan
Ibrahim dan menyukseskan usahanya adalah kesabaran dan
ketabahannya.
Tempat kelahiran pembawa panji tauhid ini adalah
Babilon. Para sejarawan telah menyatakan negeri itu
sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia. Mereka
telah mencatat banyak riwayat tentang keagungan dan
kehebatan peradaban wilayah itu. Sejarawan Yunani
kenamaan, Herodotus (483-425 SM), menulis, "Babilon
dibangun di sebuah lapangan persegi-panjang setiap
sisinya 480 km (120 league), sehingga kelilingnya 1.920
km. Pernyataan ini, betapapun dibesar-besarkan,
mengungkapkan realitas yang tak terbantah-apabila
dibaca bersama tulisan-tulisan lainnya.
Namun, dari pemandangannya yang menarik dan
istana-istananya yang tinggi, tak ada lagi yang dapat
dilihat sekarang selain tumpukan lempung, di antara
sungai Tigris dan Efrat, yang diliputi kebungkaman
maut. Kebungkaman itu kadang-kadang dipecahkan oleh
para orientalis yang melakukan penggalian untuk
mendapatkan informasi tentang peradaban Babilonia.
Nabi Ibrahim, pelopor tauhid, dilahirkan di masa
pemerintahan Namrud putra Kan'an. Walaupun Namrud
menyembah berhala, ia juga mengaku sebagai tuhan
(dewa). Dengan memanfaatkan kejahilan rakyat yang mudah
percaya, ia memaksakan kepercayaannya kepada mereka.
Mungkin nampak agak ganjil bahwa seorang penyembah
berhala mengaku pula sebagai dewa. Namun, Al-Qur'an
memberikan kepada kita suatu contoh lain tentang
kepercayaan ini. Ketika Musa mengguncang kekuasaan
Fir'aun dengan logikanya yang kuat dan menguak
kebohongannya dalam suatu pertemuan umum, para
pendukung Fir'aun berkata kepadanya, "Apakah kamu
membiarkan Musa dan kaumnya membuat kerusakan di negeri
ini (Mesir) dan meninggalkan kamu serta tuhan-tuhanmu?"
(QS, Surah al-A'raf, 7:127). Telah termasyhur bahwa
Fir'aun mengaku sebagai tuhan dan biasa menyerukan,
"Aku adalah tuhanmu yang tertinggi." Namun ayat ini
menunjukkan bahwa ia juga seorang penyembah berhala.
Dukungan terbesar yang diperoleh Namrud datang dari
para astrolog dan penenung yang dipandang sebagai
orang-orang pintar di zaman itu. Ketundukan mereka ini
membuka jalan bagi Namrud untuk memanfaatkan kaum
tertindas dan kalangan bodoh. Selain itu, sebagian
famili Ibrahim, misalnya Azar yang membuat berhala dan
juga memahami astrologi, termasuk pengikut Namrud. Ini
saja sudah merupakan halangan besar bagi Ibrahim,
karena di samping harus berjuang melawan kepercayaan
umum itu, ia juga harus menghadapi perlawanan kaum
kerabatnya sendiri.
Namrud telah menerjunkan diri ke dalam laut kepercayaan
takhayul. Ia telah membentangkan permadani untuk pesta
dan minum-minum ketika para astrolog membunyikan
lonceng bahaya pertama seraya mengatakan, "Pemerintahan
Anda akan runtuh melalui seorang putra negeri ini."
Ketakutan laten Namrud bangkit. Ia bertanya, "Apakah ia
telah lahir atau belum?" Para astrolog itu menjawab
bahwa ia belum lahir. Ia kemudian memerintahkan supaya
diadakan pemisahan antara perempuan dan laki-laki-di
malam yang, menurut ramalan para astrolog, kehamilan
musuh mautnya itu akan terjadi. Walaupun demikian, para
algojonya membunuh anak-anak laki-laki. Para bidan
diperintahkan untuk melaporkan rincian tentang
anak-anak yang baru lahir ke suatu kantor khusus.
Pada malam itu juga terjadi kehamilan Ibrahim. Ibunya
hamil dan, seperti ibu Musa putra 'Imran, ia
merahasiakan kehamilan itu. Setelah melahirkan, ia
menyelamatkan diri ke suatu gua yang terletak di dekat
kota itu, untuk melindungi nyawa anaknya tersayang. Ia
meninggalkan anaknya di suatu sudut gua, dan
mengunjunginya di waktu siang atau malam, tergantung
situasi. Dengan berlalunya waktu, Namrud merasa aman.
Ia percaya bahwa musuh tahta dan pemerintahannya telah
dibunuh.
Ibrahim menjalani tiga belas tahun kehidupannya dalam
sebuah gua dengan lorong masuk yang sempit, sebelum
ibunya membawanya keluar. Ketika muncul di tengah
masyarakat, para pendukung Namrud merasa bahwa ia orang
asing. Terhadap hal itu, ibunya berkata, "Ini anak
saya. Ia lahir sebelum ramalan para astrolog." (Tafsir
al-Burhan, I, h. 535).
Ketika keluar dari gua, Ibrahim memperkuat keyakinan
batinnya dalam tauhid dengan mengamati bumi dan langit,
bintang-bintang yang bersinar, dan pohon-pohonan yang
hijau. Ia menyaksikan masyarakat yang aneh. Dilihatnya
sekelompok orang yang memperlakukan sinar bintang
dengan sangat tolol. Ia juga melihat beberapa orang
dengan tingkat kecerdasan yang bahkan lebih rendah.
Mereka membuat berhala dengan tangan sendiri, kemudian
menyembahnya. Yang terburuk dari semuanya ialah bahwa
seorang manusia, dengan mengambil keuntungan secara tak
semestinya dari kejahilan dan kebodohan rakyat, mengaku
sebagai tuhan mereka dan menyatakan diri sebagai
pemberi hidup kepada semua makhluk dan penakdir semua
peristiwa.
Nabi Ibrahim merasa harus mempersiapkan diri untuk
memerangi tiga kelompok yang berbeda ini.
IBRAHIM BERJUANG MELAWAN PENYEMBAHAN BERHALA
Kegelapan penyembahan berhala telah meliputi seluruh
Babilon, tempat lahir Nabi Ibrahim, Banyak tuhan dunia
dan langit telah merenggut hak menalar dan berpikir
dari berbagai lapisan masyarakat. Sebagiannya memandang
tuhan-tuhan itu memiliki kekuasaan sendiri, sedang yang
lainnya memperlakukan mereka sebagai perantara untuk
memperoleh nikmat dari Tuhan Yang Mahakuasa.
RAHASIA POLITEISME
Orang Arab sebelum datangnya Islam percaya bahwa setiap
makhluk dan setiap gejala tentulah mempunyai penyebab
tersendiri, dan bahwa Tuhan Yang Esa tidak mampu
menciptakan semuanya. Pada masa itu, ilmu pengetahuan
memang belum menemukan hubungan antara makhluk dan
fenomena alami serta berbagai kejadian. Sebagai
akibatnya, orang-orang itu mengkhayalkan bahwa semua
mahluk dan berbagai fenomena alami berdiri
sendiri-sendiri dan tidak ada kaitan satu sama lain.
Karena itu, mereka menganggap bahwa untuk setiap
fenomena seperti hujan dan salju, gempa bumi dan
kematian, paceklik dan kesukaran, perdamaian dan
ketentraman, kekejaman dan pertumpahan darah, dan
sebagainya, ada tuhannya masing-masing. Mereka tak
menyadari bahwa seluruh alam semesta adalah suatu
kesatuan, di mana bagiannya saling terkait dan
masing-masingnya mempunyai efek timbal balik.
Pikiran bersahaja manusia masa itu belum mengetahui
rahasia penyembahan kepada Allah Yang Esa dan tidak
menyadari bahwa Allah yang menguasai alam semesta
adalah Tuhan Yang Mahakuasa dan Mahatahu, Pencipta yang
bebas dari segala kelemahan dan cacat. Kekuasaan,
kesempurnaan, pengetahuan, dan kebijaksanaanNya tiada
berbatas. Ia di atas segala sesuatu yang dianggapkan
kepada-Nya. Tak ada kesempurnaan yang tidak Ia miliki.
Tak ada kemungkinan yang tak dapat diciptakan-Nya. Ia
adalah Allah Yang Esa yang mampu menciptakan segala
makhluk dan fenomena tanpa bantuan dan dukungan siapa
pun. Ia dapat menciptakan makhluk lain dengan cara yang
sama sebagaimana Ia menciptakan makhluk-makhluk yang
ada sekarang.
Karena itu, secara nalar, adanya perantaraan dari suatu
wewenang yang dapat mengurangi kemandirian kehendak
Allah yang tidak bersekutu, tidak dapat diterima.
Kepercayaan bahwa alam semesta mempunyai dua pencipta,
yang satu merupakan sumber kebaikan dan cahaya sedang
yang satu lagi merupakan sumber kejahatan dan
kegelapan, juga tak dapat diterima. Kepercayaan bahwa
ada perantaraan oleh seseorang, seperti Maryam dan
'Isa, dalam hal penciptaan alam semesta, atau bahwa
pengaturan tatanan dunia fisik telah dikuasakan pada
seorang manusia, merupakan manifestasi syirik dan
kelebih-lebihan. Penganut tauhid, dengan rasa hormat
yang sewajarnya kepada para nabi dan orang suci,
memelihara keyakinan pada Pencipta Alam Semesta, dan
tidak menyekutukan-Nya dengan yang lain.
Metode yang digunakan para nabi untuk memberi pelajaran
dan tuntutan kepada manusia ialah metode logika dan
penalaran, karena mereka berurusan dengan pikiran
manusia. Mereka berhasrat mendirikan pemerintahan yang
didasarkan pada keimanan, pengetahuan, dan keadilan,
dan pemerintahan semacam itu tak dapat didirikan
melalui kekerasan, peperangan, dan pertumpahan darah.
Oleh karena itu, kita harus membedakan pemerintahan
para nabi dengan pemerintahan Fir'aun dan Namrud.
Tujuan dari kelompok yang kedua ini ialah amannya
kekuasaan dan pemerintahan mereka dengan segala cara
yang mungkin, sekalipun negara akan runtuh setelah
mereka mati. Sebaliknya, orang-orang suci bermaksud
mendirikan pemerintahan yang membawa maslahat pada
individu maupun masyarakat, baik penguasa itu kuat atau
lemah pada suatu waktu tertentu, sementara ia hidup
maupun sesudah ia mati. Tujuan semacam itu tentu saja
tak dapat dicapai dengan kekerasan dan tekanan.
Ibrahim pertama-tama berjuang melawan kepercayaan kaum
kerabatnya yang menyembah berhala, di mana Azar
merupakan pentolannya. Sebelum mencapai keberhasilan
penuh dalam bidang ini, ia sudah harus berjuang pada
bidang operasi lainnya. Taraf pemikiran kelompok yang
kedua ini agak lebih tinggi dan lebih jelas dari yang
pertama. Berlawanan dengan agama para famili Ibrahim,
mereka ini telah membuang makhluk-makhluk duniawi yang
hina dan tak berharga, lalu memuja bintang di langit.
Ketika melawan pemujaan bintang, Ibrahim menyatakan
dengan kata-kata sederhana sejumlah kebenaran filosofis
dan ilmiah yang belum dipahami oleh manusia di zaman
itu, bahkan sekarang pun argumennya menimbulkan
kekaguman para sarjana yang sangat mengenal seni logika
dan perdebatan. Di atas semua ini, Al-Qur'an juga telah
mengutip argumen-argumen Ibrahim, dan kami mendapat
kehormatan untuk mengutipnya dengan penjelasan singkat.
Untuk dapat menuntun masyarakatnya, suatu malam Ibrahim
menatap ke langit di saat terbenamnya matahari dan
terus terjaga hingga ia terbenam lagi di hari
berikutnya. Selama 24 jam ini ia berdebat dan
berdiskusi dengan tiga kelompok, dan menyalahkan
kepercayaan mereka dengan argumen-argumennya yang kuat.
Kegelapan malam mendekat dan menyembunyikan segala
tanda kehidupan. Bintang Venus yang cemerlang muncul
dari suatu sudut cakrawala. Untuk merebut hati para
pemuja Venus, Ibrahim menyesuaikan diri dengan mereka
dan mengikuti garis pikiran mereka seraya mengatakan,
"Itu adalah pemeliharaku." Namun, ketika bintang itu
tenggelam dan menghilang di suatu sudut, ia berkata,
"Saya tak dapat menerima tuhan yang tenggelam." Dengan
penalarannya yang alami, ia menolak kepercayaan para
pemuja Venus dan membuktikan kebatilannya.
Pada tahap berikutnya, matanya tertuju pada bundaran
bulan yang bercahaya terang dengan keindahannya yang
memukau. Dengan maksud merebut hati pemuja bulan,
secara lahiriah ia bersikap seakan bulan itu tuhan,
tapi kemudian ia merontokkan kepercayaan itu dengan
logikanya yang kuat. Demikianlah, ketika Yang Mahakuasa
membenamkan bulan itu di balik cakrawala, dan cahaya
serta keindahannya lenyap dari muka bumi, maka tanpa
menyinggung perasaan para pemuja bulan itu, Ibrahim
berkata, "Apabila Tuhanku yang sesungguhnya tidak
membimbing aku, tentulah aku tersesat, karena tuhan ini
terbenam seperti bintang dan tunduk pada suatu tatanan
dan sistem yang pasti yang dibentuk oleh sesuatu yang
lain."
Kegelapan malam berakhir dan matahari pun muncul,
membuka cakrawala, dan menyebarkan sinar keemasannya ke
muka bumi. Para pemuja matahari memalingkan wajah
mereka kepada tuhannya. Untuk menaati aturan
perdebatan, Ibrahim juga bersikap seolah mengakui
ketuhanan matahari. Namun, terbenamnya matahari
mengukuhkan bahwa ia tunduk pada suatu sistem alam
semesta yang umum, dan Ibrahim secara terbuka
menolaknya sebagai yang patut disembah.(lihat QS,
al-An'am, 6:75-79)
Tak diragukan bahwa saat tinggal di gua, melalui
anugerah Ilahi yang luar biasa, Ibrahim mendapatkan
dari sumber yang gaib pengetahuan batin tentang tauhid,
yang merupakan kekhususan para nabi. Namun, setelah
memperhatikan dan mengkaji benda-benda langit, ia juga
memberikan bentuk argumentasi pada pengetahuan itu.
Dengan demikian, di samping menunjukkan jalan yang
benar kepada manusia dan memberikan kepada mereka
sarana bimbingan, Ibrahim telah meninggalkan
pengetahuan yang tak ternilai untuk digunakan oleh
orang-orang yang mencan kebenaran dan realitas.
Kamis, 13 Mei 2010
KH JAUHARI ZAWAWI

Beliau adalah guru dari KH Ali Mahrus. Pendiri Pondok Pesantren As Suniyyah Kencong Jember.
Beliau adalah seorang Waliyulloh yang telah mencetak santri menjadi seorang Kyai atau juga seorang wali.
Beliau termasuk wali yang mashur di zamannya. Menurut kabar yang tersiar bahwa beliau setara dengan KH Abd. hamid Pasuruan.
Salah satu karomah dari beliau adalah menurut santri beliau : beliau tidak pernah melihat TV, membaca koran ataupun semua yang berbau media. Tetapi beliau dapat mengetahui perkembangan zaman dan mengetahui berita aktual. Salah satunya lagi yaitu ketika beliau di undang rapat oleh Presiden di Istana Kenegaraan beliau berangkat dari kencong ke Jakarta hanya memakan waktu 3 jam saja. Ini diceritakan oleh sopir beliau sendiri yang juga tidak percaya dengan hal ini
Berdasarkan berbagai keterangan dalam Kitab Suci dan Hadits
Nabi, dapatlah dikatakan bahwa shalat adalah kewajiban
peribadatan (formal) yang paling penting dalam sistem
keagamaan Islam. Kitab Suci banyak memuat perintah agar kita
menegakkan shalat (iqamat al-shalah, yakni menjalankannya
dengan penuh kesungguhan), dan menggambarkan bahwa kebahagiaan
kaum beriman adalah pertama-tama karena shalatnya yang
dilakukan dengan penuh kekhusyukan. [1]). Sebuah hadits Nabi
saw. menegaskan, "Yang pertama kali akan diperhitungkan
tentang seorang hamba pada hari Kiamat ialah shalat: jika
baik, maka baik pulalah seluruh amalnya; dan jika rusak, maka
rusak pulalah seluruh amalnya." [2] Dan sabda beliau lagi,
"Pangkal segala perkara ialah al-Islam (sikap pasrah kepada
Allah), tiang penyangganya shalat, dan puncak tertingginya
ialah perjuangan di jalan Allah." [3]
Karena demikian banyaknya penegasan-penegasan tentang
pentingnya shalat yang kita dapatkan dalam sumber-sumber
agama, tentu sepatutnya kita memahami makna shalat itu sebaik
mungkin. Berdasarkan berbagai penegasan itu, dapat ditarik
kesimpulan bahwa agaknya shalat merupakan "kapsul" keseluruhan
ajaran dan tujuan agama, yang di dalamnya termuat ekstrak atau
sari pati semua bahan ajaran dan tujuan keagamaan. Dalam
shalat itu kita mendapatkan keinsyafan akan tujuan akhir hidup
kita, yaitu penghambaan diri ('ibadah) kepada Allah, Tuhan
Yang Maha Esa, dan melalui shalat itu kita memperoleh
pendidikan pengikatan pribadi atau komitmen kepada nilai-nilai
hidup yang luhur. Dalam perkataan lain, nampak pada kita bahwa
shalat mempunyai dua makna sekaligus: makna intrinsik, sebagai
tujuan pada dirinya sendiri dan makna instrumental, sebagai
sarana pendidikan ke arah nilai-nilai luhur.
Makna Intrinsik Shalat (Arti Simbolik Takbirat al-Ihram)
Kedua makna itu, baik yang intrinsik maupun yang instrumental,
dilambangkan dalam keseluruhan shalat, baik dalam unsur
bacaannya maupun tingkah lakunya. Secara Ilmu Fiqih, shalat
dirumuskan sebagai "Ibadah kepada Allah dan pengagungan-Nya
dengan bacaan-bacaan dan tindakan-tindakan tertentu yang
dibuka dengan takbir (Allahu Akbar) dan ditutup dengan taslim
(al-salam-u 'alaykam wa rahmatu-'l-Lah-i wa barakatah), dengan
runtutan dan tertib tertentu yang diterapkan oleh agama
Islam." [4]
Takbir pembukaan shalat itu dinamakan "takbir ihram" (takbirat
al-ihram), yang mengandung arti "takbir yang mengharamkan",
yakni, mengharamkan segala tindakan dan tingkah laku yang
tidak ada kaitannya dengan shalat sebagai peristiwa menghadap
Tuhan. Takbir pembukaan itu seakan suatu pernyataan formal
seseorang membuka hubungan diri dengan Tuhan (habl-un min-a
'l-Lah), dan mengharamkan atau memutuskan diri dari semua
bentuk hubungan dengan sesama manusia (habl-un min al-nas -
"hablum minannas"). Maka makna intrinsik shalat diisyaratkan
dalam arti simbolik takbir pembukaan itu, yang melambangkan
hubungan dengan Allah dan menghambakan diri kepada-Nya. Jika
disebutkan bahwa tujuan penciptaan jin dan manusia oleh Allah
agar mereka menghamba kepada-Nya, maka wujud simbolik
terpenting penghambaan itu ialah shalat yang dibuka dengan
takbir tersebut, sebagai ucapan pernyataan dimulainya sikap
menghadap Allah.
Sikap menghadap Allah itu kemudian dianjurkan untuk dikukuhkan
dengan membaca doa pembukaan (du'a al-iftitah), yaitu bacaan
yang artinya, "Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada
Dia yang telah menciptakan seluruh langit dan bumi, secara
hanif (kecenderungan suci kepada kebaikan dan kebenaran) lagi
muslim (pasrah kepada Allah, Yang Maha Baik dan Benar itu),
dan aku tidaklah termasuk mereka yang melakukan syirik." [5]
Lalu dilanjutkan dengan seruan, "Sesungguhnya shalatku, darma
baktiku, hidupku dan matiku untuk Allah Penjaga seluruh alam
raya; tiada sekutu bagi-Nya. Begitulah aku diperintahkan, dan
aku termasuk mereka yang pasrah (muslim)." [6]
Jadi, dalam shalat itu seseorang diharapkan hanya melakukan
hubungan vertikal dengan Allah, dan tidak diperkenankan
melakukan hubungan horizontal dengan sesama makhluk (kecuali
dalam keadaan terpaksa). Inilah ide dasar dalam takbir
pembukaan sebagai takbirat al-ihram. Karena itu, dalam
literatur kesufian berbahasa Jawa, shalat atau sembahyang
dipandang sebagai "mati sajeroning hurip" (mati dalam hidup),
karena memang kematian adalah panutan hubungan horizontal
sesama manusia guna memasuki alam akhirat yang merupakan "hari
pembalasan" tanpa hubungan horizotal seperti pembelaan,
perantaraan, ataupun tolong-menolong. [7]
Selanjutnya dia yang sedang melakukan shalat hendaknya
menyadari sedalam-dalamnya akan posisinya sebagai seorang
makhluk yang sedang menghadap Khaliknya, dengan penuh
keharuan, kesyahduan dan kekhusyukan. Sedapat mungkin ia
menghayati kehadirannya di hadapan Sang Maha Pencipta itu
sedemikian rupa sehingga ia "seolah-olah melihat Khaliknya";
dan kalau pun ia tidak dapat melihat-Nya, ia harus menginsyafi
sedalam-dalamnya bahwa "Khaliknya melihat dia", sesuai dengan
makna ihsan seperti dijelaskan Nabi saw dalam sebuah hadits.
[8] Karena merupakan peristiwa menghadap Tuhan, shalat juga
sering dilukiskan sebagai mi'raj seorang mukmin, dalam analogi
dengan mi'raj Nabi saw yang menghadap Allah secara langsung di
Sidrat al-Muntaha.
Dengan ihsan itu orang yang melakukan shalat menemukan salah
satu makna yang amat penting ibaratnya, yaitu penginsyafan
diri akan adanya Tuhan Yang Maha Hadir (omnipresent), sejalan
dengan berbagai penegasan dalam Kitab Suci, seperti, misalnya:
"Dia (Allah) itu beserta kamu di manapun kamu berada, dan
Allah Maha teliti akan segala sesuatu yang kamu kerjakan." [9]
Bahwa shalat disyariatkan agar manusia senantiasa memelihara
hubungan dengan Allah dalam wujud keinsyafan sedalam-dalamnya
akan ke-Maha-Hadiran-Nya, ditegaskan, misalnya, dalam perintah
kepada Nabi Musa as. saat ia berjumpa dengan Allah di Sinai:
"Sesungguhnya Aku adalah Allah, tiada Tuhan selain Aku. Maka
sembahlah olehmu akan Daku, dan tegakkanlah shalat untuk
mengingat-Ku!" [10] Dan ingat kepada Allah yang dapat berarti
kelestarian hubungan yang dekat dengan Allah adalah juga
berarti menginsyafkan diri sendiri akan makna terakhir hidup
di dunia ini, yaitu bahwa "Sesungguhnya kita berasal dari
Allah, dan kita akan kembali kepada-Nya". [11] Maka dalam
literatur kesufian berbahasa Jawa, Tuhan Yang Maha Esa adalah
"Sangkan-Paraning hurip" (Asal dan Tujuan hidup), bahkan
"Sangkan-Paraning dumadi" (Asal dan Tujuan semua makhluk).
Keinsyafan terhadap Allah sebagai tujuan akhir hidup tentu
akan mendorong seseorang untuk bertindak dan berpekerti
sedemikian rupa sehingga ia kelak akan kembali kepada Allah
dengan penuh perkenan dan diperkenankan (radliyah mardliyyah).
Oleh karena manusia mengetahui, baik secara naluri maupun
logika, bahwa Allah tidak akan memberi perkenan kepada sesuatu
yang tidak benar dan tidak baik, maka tindakan dan pekerti
yang harus ditempuhnya dalam rangka hidup menuju Allah ialah
yang benar dan baik pula. Inilah jalan hidup yang lurus, yang
asal-muasalnya ditunjukkan dan diterangi hati nurani (nurani,
bersifat cahaya, yakni, terang dan menerangi), yang merupakan
pusat rasa kesucian (fithrah) dan sumber dorongan suci manusia
menuju kebenaran (hanif).
Tetapi manusia adalah makhluk yang sekalipun pada dasarnya
baik namun juga lemah. Kelemahan ini membuatnya tidak selalu
mampu menangkap kebaikan dan kebenaran dalam kaitan nyatanya
dengan hidup sehari-hari. Sering kebenaran itu tak nampak
padanya karena terhalang oleh hawa nafsu (hawa al-nafs,
kecenderungan diri sendiri) yang subyektif dan egois sebagai
akibat dikte dan penguasaan oleh vested interest-nya. Karena
itu dalam usaha mencari dan menemukan kebenaran tersebut
mutlak diperlukan ketulusan hati dan keikhlasannya, yaitu
sikap batin yang murni, yang sanggup melepaskan diri dari
dikte kecenderungan diri sendiri atau hawa nafsu itu.
Begitulah, maka ketika dalam shalat seseorang membaca surat
al-Fatihah --yang merupakan bacaan terpenting dalam ibadat
itu-- kandungan makna surat itu yang terutama harus dihayati
benar-benar ialah permohonan kepada Allah agar ditunjukkan
jalan yang lurus (al-shirath al-mustaqim). Permohonan itu
setelah didahului dengan pernyataan bahwa seluruh perbuatan
dirinya akan dipertanggungjawabkan kepada Allah (basmalah),
diteruskan dengan pengakuan dan panjatan pujian kepada-Nya
sebagai pemelihara seluruh alam raya (hamdalah), Yang Maha
Pengasih (tanpa pilih kasih di dunia ini -al-Rahman) dan Maha
Penyayang (kepada kaum beriman di akhirat kelak -al-Rahim).
Lalu dilanjutkan dengan pengakuan terhadap Allah sebagai
Penguasa Hari Pembalasan, di mana setiap orang akan berdiri
mutlak sebagai pribadi di hadapan-Nya selaku Maha Hakim,
dikukuhkan dengan pernyataan bahwa kita tidak akan menghamba
kecuali kepada-Nya saja semurni-murninya, dan juga hanya
kepada-Nya saja kita memohon pertolongan karena menyadari
bahwa kita sendiri tidak memiliki kemampuan intrinsik untuk
menemukan kebenaran.
Dalam peneguhan hati bahwa kita tidak menghambakan diri
kecuali kepada-Nya serta dalam penegasan bahwa hanya
kepada-Nya kita mohon pertolongan tersebut, seperti dikatakan
oleh Ibn 'Atha' Allah al-Sakandari, kita berusaha
mengungkapkan ketulusan kita dalam memohon bimbingan ke arah
jalan yang benar. Yaitu ketulusan berbentuk pengakuan bahwa
kita tidak dibenarkan mengarahkan hidup ini kepada sesuatu
apapun selain Tuhan, dan ketulusan berbentuk pelepasan
pretensi-pretensi akan kemampuan diri menemukan kebenaran.
Dengan kata lain, dalam memohon petunjuk ke jalan yang benar
itu, dalam ketulusan, kita harapkan senantiasa kepada Allah
bahwa Dia akan mengabulkan permohonan.kita, namun pada saat
yang sama juga ada kecemasan bahwa kebenaran tidak dapat kita
tangkap dengan tepat karena kesucian fitrah kita terkalahkan
oleh kelemahan kita yang tidak dapat melepaskan diri dari
kungkungan kecenderungan diri sendiri."Harap-harap cemas" itu
merupakan indikasi kerendahan hati dan tawadlu', dan sikap itu
merupakan pintu bagi masuknya karunia rahmat llahi: "Berdoalah
kamu kepada-Nya dengan kecemasan dan harapan! Sesungguhnya
rahmat Allah itu dekat kepada mereka yang berbuat baik." [12].
Jadi, di hadapan Allah "nothing is taken for granted,"
termasuk perasaan kita tentang kebaikan dan kebenaran dalam
hidup nyata sehari-hari. Artinya, apapun perasaan, mungkin
malah keyakinan kita tentang kebaikan dan kebenaran yang kita
miliki harus senantiasa terbuka untuk dipertanyakan kembali.
Salah satu konsekuensi itu adalah "kecemasan." Jika tidak
begitu maka berarti hanya ada harapan saja. Sedangkan harapan
yang tanpa kecemasan samasekali adalah sikap kepastian diri
yan mengarah pada kesombongan. Seseorang disebut sesat pada
waktu ia yakin berada di jalan yang benar padahal sesungguhnya
ia menempuh jalan yang keliru.
Keadaan orang yang demikian itu, lepas dari "iktikad baiknya"
tidak akan sampai kepada tujuan, meskipun, menurut Ibn
Taymiyyah, masih sedikit lebih baik daripada orang yang memang
tidak peduli pada masalah moral dan etika; orang inilah yang
mendapatkan murka dari Allah.
Maka diajarkan kepada kita bahwa yang kita mohon kepada Allah
ialah jalan hidup mereka terdahulu yang telah mendapat karunia
kebahagiaan dari Dia, bukan jalan mereka yang terkena murka,
dan bukan pula jalan mereka yang sesat. Ini berarti adanya
isyarat pada pengalaman berbagai umat masa lalu. Maka ia juga
mengisyaratkan adanya kewajiban mempelajari dan belajar dari
sejarah, guna menemukan jalan hidup yang benar. [13]
Disebutkan dalam Kitab Suci bahwa shalat merupakan kewajiban
"berwaktu" atas kaum beriman. [14] Yaitu, diwajibkan pada
waktu-waktu tertentu, dimulai dari dini hari (Subuh),
diteruskan ke siang hari (Dhuhur), kemudian sore hari (Ashar),
lalu sesaat setelah terbenam matahari (Maghrib) dan akhirnya
di malam hari ('Isya). Hikmah di balik penentuan waktu itu
ialah agar kita jangan sampai lengah dari ingat di waktu pagi,
kemudian saat kita istirahat sejenak dari kerja (Dhuhur) dan,
lebih-lebih lagi, saat kita "santai" sesudah bekerja (dari
Ashar sampai 'Isya). Sebab, justru saat santai itulah biasanya
dorongan dalam diri kita untuk mencari kebenaran menjadi
lemah, mungkin malah kita tergelincir pada gelimang kesenangan
dan kealpaan. Karena itulah ada pesan Ilahi agar kita
menegakkan semua shalat, terutama shalat tengah, yaitu Ashar,
[15] dan agar kita mengisi waktu luang untuk bekerja keras
mendekati Tuhan.[16]
Nabi, dapatlah dikatakan bahwa shalat adalah kewajiban
peribadatan (formal) yang paling penting dalam sistem
keagamaan Islam. Kitab Suci banyak memuat perintah agar kita
menegakkan shalat (iqamat al-shalah, yakni menjalankannya
dengan penuh kesungguhan), dan menggambarkan bahwa kebahagiaan
kaum beriman adalah pertama-tama karena shalatnya yang
dilakukan dengan penuh kekhusyukan. [1]). Sebuah hadits Nabi
saw. menegaskan, "Yang pertama kali akan diperhitungkan
tentang seorang hamba pada hari Kiamat ialah shalat: jika
baik, maka baik pulalah seluruh amalnya; dan jika rusak, maka
rusak pulalah seluruh amalnya." [2] Dan sabda beliau lagi,
"Pangkal segala perkara ialah al-Islam (sikap pasrah kepada
Allah), tiang penyangganya shalat, dan puncak tertingginya
ialah perjuangan di jalan Allah." [3]
Karena demikian banyaknya penegasan-penegasan tentang
pentingnya shalat yang kita dapatkan dalam sumber-sumber
agama, tentu sepatutnya kita memahami makna shalat itu sebaik
mungkin. Berdasarkan berbagai penegasan itu, dapat ditarik
kesimpulan bahwa agaknya shalat merupakan "kapsul" keseluruhan
ajaran dan tujuan agama, yang di dalamnya termuat ekstrak atau
sari pati semua bahan ajaran dan tujuan keagamaan. Dalam
shalat itu kita mendapatkan keinsyafan akan tujuan akhir hidup
kita, yaitu penghambaan diri ('ibadah) kepada Allah, Tuhan
Yang Maha Esa, dan melalui shalat itu kita memperoleh
pendidikan pengikatan pribadi atau komitmen kepada nilai-nilai
hidup yang luhur. Dalam perkataan lain, nampak pada kita bahwa
shalat mempunyai dua makna sekaligus: makna intrinsik, sebagai
tujuan pada dirinya sendiri dan makna instrumental, sebagai
sarana pendidikan ke arah nilai-nilai luhur.
Makna Intrinsik Shalat (Arti Simbolik Takbirat al-Ihram)
Kedua makna itu, baik yang intrinsik maupun yang instrumental,
dilambangkan dalam keseluruhan shalat, baik dalam unsur
bacaannya maupun tingkah lakunya. Secara Ilmu Fiqih, shalat
dirumuskan sebagai "Ibadah kepada Allah dan pengagungan-Nya
dengan bacaan-bacaan dan tindakan-tindakan tertentu yang
dibuka dengan takbir (Allahu Akbar) dan ditutup dengan taslim
(al-salam-u 'alaykam wa rahmatu-'l-Lah-i wa barakatah), dengan
runtutan dan tertib tertentu yang diterapkan oleh agama
Islam." [4]
Takbir pembukaan shalat itu dinamakan "takbir ihram" (takbirat
al-ihram), yang mengandung arti "takbir yang mengharamkan",
yakni, mengharamkan segala tindakan dan tingkah laku yang
tidak ada kaitannya dengan shalat sebagai peristiwa menghadap
Tuhan. Takbir pembukaan itu seakan suatu pernyataan formal
seseorang membuka hubungan diri dengan Tuhan (habl-un min-a
'l-Lah), dan mengharamkan atau memutuskan diri dari semua
bentuk hubungan dengan sesama manusia (habl-un min al-nas -
"hablum minannas"). Maka makna intrinsik shalat diisyaratkan
dalam arti simbolik takbir pembukaan itu, yang melambangkan
hubungan dengan Allah dan menghambakan diri kepada-Nya. Jika
disebutkan bahwa tujuan penciptaan jin dan manusia oleh Allah
agar mereka menghamba kepada-Nya, maka wujud simbolik
terpenting penghambaan itu ialah shalat yang dibuka dengan
takbir tersebut, sebagai ucapan pernyataan dimulainya sikap
menghadap Allah.
Sikap menghadap Allah itu kemudian dianjurkan untuk dikukuhkan
dengan membaca doa pembukaan (du'a al-iftitah), yaitu bacaan
yang artinya, "Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada
Dia yang telah menciptakan seluruh langit dan bumi, secara
hanif (kecenderungan suci kepada kebaikan dan kebenaran) lagi
muslim (pasrah kepada Allah, Yang Maha Baik dan Benar itu),
dan aku tidaklah termasuk mereka yang melakukan syirik." [5]
Lalu dilanjutkan dengan seruan, "Sesungguhnya shalatku, darma
baktiku, hidupku dan matiku untuk Allah Penjaga seluruh alam
raya; tiada sekutu bagi-Nya. Begitulah aku diperintahkan, dan
aku termasuk mereka yang pasrah (muslim)." [6]
Jadi, dalam shalat itu seseorang diharapkan hanya melakukan
hubungan vertikal dengan Allah, dan tidak diperkenankan
melakukan hubungan horizontal dengan sesama makhluk (kecuali
dalam keadaan terpaksa). Inilah ide dasar dalam takbir
pembukaan sebagai takbirat al-ihram. Karena itu, dalam
literatur kesufian berbahasa Jawa, shalat atau sembahyang
dipandang sebagai "mati sajeroning hurip" (mati dalam hidup),
karena memang kematian adalah panutan hubungan horizontal
sesama manusia guna memasuki alam akhirat yang merupakan "hari
pembalasan" tanpa hubungan horizotal seperti pembelaan,
perantaraan, ataupun tolong-menolong. [7]
Selanjutnya dia yang sedang melakukan shalat hendaknya
menyadari sedalam-dalamnya akan posisinya sebagai seorang
makhluk yang sedang menghadap Khaliknya, dengan penuh
keharuan, kesyahduan dan kekhusyukan. Sedapat mungkin ia
menghayati kehadirannya di hadapan Sang Maha Pencipta itu
sedemikian rupa sehingga ia "seolah-olah melihat Khaliknya";
dan kalau pun ia tidak dapat melihat-Nya, ia harus menginsyafi
sedalam-dalamnya bahwa "Khaliknya melihat dia", sesuai dengan
makna ihsan seperti dijelaskan Nabi saw dalam sebuah hadits.
[8] Karena merupakan peristiwa menghadap Tuhan, shalat juga
sering dilukiskan sebagai mi'raj seorang mukmin, dalam analogi
dengan mi'raj Nabi saw yang menghadap Allah secara langsung di
Sidrat al-Muntaha.
Dengan ihsan itu orang yang melakukan shalat menemukan salah
satu makna yang amat penting ibaratnya, yaitu penginsyafan
diri akan adanya Tuhan Yang Maha Hadir (omnipresent), sejalan
dengan berbagai penegasan dalam Kitab Suci, seperti, misalnya:
"Dia (Allah) itu beserta kamu di manapun kamu berada, dan
Allah Maha teliti akan segala sesuatu yang kamu kerjakan." [9]
Bahwa shalat disyariatkan agar manusia senantiasa memelihara
hubungan dengan Allah dalam wujud keinsyafan sedalam-dalamnya
akan ke-Maha-Hadiran-Nya, ditegaskan, misalnya, dalam perintah
kepada Nabi Musa as. saat ia berjumpa dengan Allah di Sinai:
"Sesungguhnya Aku adalah Allah, tiada Tuhan selain Aku. Maka
sembahlah olehmu akan Daku, dan tegakkanlah shalat untuk
mengingat-Ku!" [10] Dan ingat kepada Allah yang dapat berarti
kelestarian hubungan yang dekat dengan Allah adalah juga
berarti menginsyafkan diri sendiri akan makna terakhir hidup
di dunia ini, yaitu bahwa "Sesungguhnya kita berasal dari
Allah, dan kita akan kembali kepada-Nya". [11] Maka dalam
literatur kesufian berbahasa Jawa, Tuhan Yang Maha Esa adalah
"Sangkan-Paraning hurip" (Asal dan Tujuan hidup), bahkan
"Sangkan-Paraning dumadi" (Asal dan Tujuan semua makhluk).
Keinsyafan terhadap Allah sebagai tujuan akhir hidup tentu
akan mendorong seseorang untuk bertindak dan berpekerti
sedemikian rupa sehingga ia kelak akan kembali kepada Allah
dengan penuh perkenan dan diperkenankan (radliyah mardliyyah).
Oleh karena manusia mengetahui, baik secara naluri maupun
logika, bahwa Allah tidak akan memberi perkenan kepada sesuatu
yang tidak benar dan tidak baik, maka tindakan dan pekerti
yang harus ditempuhnya dalam rangka hidup menuju Allah ialah
yang benar dan baik pula. Inilah jalan hidup yang lurus, yang
asal-muasalnya ditunjukkan dan diterangi hati nurani (nurani,
bersifat cahaya, yakni, terang dan menerangi), yang merupakan
pusat rasa kesucian (fithrah) dan sumber dorongan suci manusia
menuju kebenaran (hanif).
Tetapi manusia adalah makhluk yang sekalipun pada dasarnya
baik namun juga lemah. Kelemahan ini membuatnya tidak selalu
mampu menangkap kebaikan dan kebenaran dalam kaitan nyatanya
dengan hidup sehari-hari. Sering kebenaran itu tak nampak
padanya karena terhalang oleh hawa nafsu (hawa al-nafs,
kecenderungan diri sendiri) yang subyektif dan egois sebagai
akibat dikte dan penguasaan oleh vested interest-nya. Karena
itu dalam usaha mencari dan menemukan kebenaran tersebut
mutlak diperlukan ketulusan hati dan keikhlasannya, yaitu
sikap batin yang murni, yang sanggup melepaskan diri dari
dikte kecenderungan diri sendiri atau hawa nafsu itu.
Begitulah, maka ketika dalam shalat seseorang membaca surat
al-Fatihah --yang merupakan bacaan terpenting dalam ibadat
itu-- kandungan makna surat itu yang terutama harus dihayati
benar-benar ialah permohonan kepada Allah agar ditunjukkan
jalan yang lurus (al-shirath al-mustaqim). Permohonan itu
setelah didahului dengan pernyataan bahwa seluruh perbuatan
dirinya akan dipertanggungjawabkan kepada Allah (basmalah),
diteruskan dengan pengakuan dan panjatan pujian kepada-Nya
sebagai pemelihara seluruh alam raya (hamdalah), Yang Maha
Pengasih (tanpa pilih kasih di dunia ini -al-Rahman) dan Maha
Penyayang (kepada kaum beriman di akhirat kelak -al-Rahim).
Lalu dilanjutkan dengan pengakuan terhadap Allah sebagai
Penguasa Hari Pembalasan, di mana setiap orang akan berdiri
mutlak sebagai pribadi di hadapan-Nya selaku Maha Hakim,
dikukuhkan dengan pernyataan bahwa kita tidak akan menghamba
kecuali kepada-Nya saja semurni-murninya, dan juga hanya
kepada-Nya saja kita memohon pertolongan karena menyadari
bahwa kita sendiri tidak memiliki kemampuan intrinsik untuk
menemukan kebenaran.
Dalam peneguhan hati bahwa kita tidak menghambakan diri
kecuali kepada-Nya serta dalam penegasan bahwa hanya
kepada-Nya kita mohon pertolongan tersebut, seperti dikatakan
oleh Ibn 'Atha' Allah al-Sakandari, kita berusaha
mengungkapkan ketulusan kita dalam memohon bimbingan ke arah
jalan yang benar. Yaitu ketulusan berbentuk pengakuan bahwa
kita tidak dibenarkan mengarahkan hidup ini kepada sesuatu
apapun selain Tuhan, dan ketulusan berbentuk pelepasan
pretensi-pretensi akan kemampuan diri menemukan kebenaran.
Dengan kata lain, dalam memohon petunjuk ke jalan yang benar
itu, dalam ketulusan, kita harapkan senantiasa kepada Allah
bahwa Dia akan mengabulkan permohonan.kita, namun pada saat
yang sama juga ada kecemasan bahwa kebenaran tidak dapat kita
tangkap dengan tepat karena kesucian fitrah kita terkalahkan
oleh kelemahan kita yang tidak dapat melepaskan diri dari
kungkungan kecenderungan diri sendiri."Harap-harap cemas" itu
merupakan indikasi kerendahan hati dan tawadlu', dan sikap itu
merupakan pintu bagi masuknya karunia rahmat llahi: "Berdoalah
kamu kepada-Nya dengan kecemasan dan harapan! Sesungguhnya
rahmat Allah itu dekat kepada mereka yang berbuat baik." [12].
Jadi, di hadapan Allah "nothing is taken for granted,"
termasuk perasaan kita tentang kebaikan dan kebenaran dalam
hidup nyata sehari-hari. Artinya, apapun perasaan, mungkin
malah keyakinan kita tentang kebaikan dan kebenaran yang kita
miliki harus senantiasa terbuka untuk dipertanyakan kembali.
Salah satu konsekuensi itu adalah "kecemasan." Jika tidak
begitu maka berarti hanya ada harapan saja. Sedangkan harapan
yang tanpa kecemasan samasekali adalah sikap kepastian diri
yan mengarah pada kesombongan. Seseorang disebut sesat pada
waktu ia yakin berada di jalan yang benar padahal sesungguhnya
ia menempuh jalan yang keliru.
Keadaan orang yang demikian itu, lepas dari "iktikad baiknya"
tidak akan sampai kepada tujuan, meskipun, menurut Ibn
Taymiyyah, masih sedikit lebih baik daripada orang yang memang
tidak peduli pada masalah moral dan etika; orang inilah yang
mendapatkan murka dari Allah.
Maka diajarkan kepada kita bahwa yang kita mohon kepada Allah
ialah jalan hidup mereka terdahulu yang telah mendapat karunia
kebahagiaan dari Dia, bukan jalan mereka yang terkena murka,
dan bukan pula jalan mereka yang sesat. Ini berarti adanya
isyarat pada pengalaman berbagai umat masa lalu. Maka ia juga
mengisyaratkan adanya kewajiban mempelajari dan belajar dari
sejarah, guna menemukan jalan hidup yang benar. [13]
Disebutkan dalam Kitab Suci bahwa shalat merupakan kewajiban
"berwaktu" atas kaum beriman. [14] Yaitu, diwajibkan pada
waktu-waktu tertentu, dimulai dari dini hari (Subuh),
diteruskan ke siang hari (Dhuhur), kemudian sore hari (Ashar),
lalu sesaat setelah terbenam matahari (Maghrib) dan akhirnya
di malam hari ('Isya). Hikmah di balik penentuan waktu itu
ialah agar kita jangan sampai lengah dari ingat di waktu pagi,
kemudian saat kita istirahat sejenak dari kerja (Dhuhur) dan,
lebih-lebih lagi, saat kita "santai" sesudah bekerja (dari
Ashar sampai 'Isya). Sebab, justru saat santai itulah biasanya
dorongan dalam diri kita untuk mencari kebenaran menjadi
lemah, mungkin malah kita tergelincir pada gelimang kesenangan
dan kealpaan. Karena itulah ada pesan Ilahi agar kita
menegakkan semua shalat, terutama shalat tengah, yaitu Ashar,
[15] dan agar kita mengisi waktu luang untuk bekerja keras
mendekati Tuhan.[16]
Rabu, 12 Mei 2010
Mudzakaroh Pernikahan
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat : “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata : “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau ?. Alloh berfirman : “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” [Al-Baqorah : 30].
Perkawinan bukanlah persoalan kecil dan sepele, tapi merupakan persoalan penting dan besar. 'Aqad nikah (perkawinan) adalah sebagai suatu perjanjian yang kokoh dan suci (mitsaqon gholidhoo), sebagaiman firman Alloh Ta'ala.
"Artinya : “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” [An-Nisaa' : 21].
Karena itu, diharapkan semua pihak yang terlibat di dalamnya, khusunya suami istri, memelihara dan menjaganya secara sunguh-sungguh dan penuh tanggung jawab.
Agama Islam telah memberikan petunjuk yang lengkap dan rinci terhadap persoalan perkawinan. Mulai dari anjuran menikah, cara memilih pasangan yang ideal, melakukan khitbah (peminangan), bagaimana mendidik anak, serta memberikan jalan keluar jika terjadi kemelut dalam rumah tangga, sampai dalam proses nafaqah dan harta waris, semua diatur oleh Islam secara rinci dan detail.
Selanjutnya untuk memahami konsep Islam tentang perkawinan, maka rujukan yang paling sah dan benar adalah Al-Qur'an dan As-Sunnah Shohih (yang sesuai dengan pemahaman Salafus Sholih -pen), dengan rujukan ini kita akan dapati kejelasan tentang aspek-aspek perkawinan maupun beberapa penyimpangan dan pergeseran nilai perkawinan yang terjadi di masyarakat kita.
Tentu saja tidak semua persoalan dapat penulis tuangkan dalam tulisan ini, hanya beberapa persoalan yang perlu dibahas yaitu tentang : Fitrah Manusia, Tujuan Perkawinan dalam Islam, Tata Cara Perkawinan dan Penyimpangan Dalam Perkawinan.
PERKAWINAN ADALAH FITRAH KEMANUSIAAN
Agama Islam adalah agama fithrah, dan manusia diciptakan Alloh Ta'ala cocok dengan fitrah ini, karena itu Alloh Subhanahu wa Ta'ala menyuruh manusia menghadapkan diri ke agama fithrah agar tidak terjadi penyelewengan dan penyimpangan. Sehingga manusia berjalan di atas fitrahnya.
Perkawinan adalah fithrah kemanusiaan, maka dari itu Islam menganjurkan untuk nikah, karena nikah merupakan gharizah insaniyah (naluri kemanusiaan). Bila gharizah ini tidak dipenuhi dengan jalan yang sah yaitu perkawinan, maka ia akan mencari jalan-jalan syetan yang banyak menjerumuskan ke lembah hitam. Firman Alloh Ta'ala.
Artinya : “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Alloh) ; (tetaplah atas) fitrah Alloh yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Alloh. (Itulah) agama yang lurus ; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” [Ar-Ruum : 30].
A. Islam Menganjurkan Nikah
Islam telah menjadikan ikatan perkawinan yang sah berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagi satu-satunya sarana untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang sangat asasi, dan sarana untuk membina keluarga yang Islami. Penghargaan Islam terhadap ikatan perkawinan besar sekali, sampai-sampai ikatan itu ditetapkan sebanding dengan separuh agama. Anas bin Malik Rodhiyalloohu 'Anhu berkata : “Telah bersabda Rosululloh Shollalloohu 'Alayhi wa Sallam :
Artinya : “Barangsiapa menikah, maka ia telah melengkapi separuh dari agamanya. Dan hendaklah ia bertaqwa kepada Alloh dalam memelihara yang separuhnya lagi.” [Hadist Riwayat Thabrani dan Hakim]
B. Islam Tidak Menyukai Membujang
Rosululloh Shollalloohu 'Alayhi wa Sallam memerintahkan untuk menikah dan melarang keras kepada orang yang tidak mau menikah. Anas bin Malik Rodhiyalloohu 'Anhu berkata : “Rosululloh Shollalloohu 'Alayhi wa Sallam memerintahkan kami untuk nikah dan melarang kami membujang dengan larangan yang keras.” Dan beliau bersabda :
Artinya : “Nikahilah perempuan yang banyak anak dan penyayang. Karena aku akan berbanggga dengan banyaknya umatku dihadapan para Nabi kelak di hari kiamat.” [Hadits Riwayat Ahmad dan di shahihkan oleh Ibnu Hibban]
Pernah suatu ketika tiga orang Shohabat datang bertanya kepada istri-istri Nabi Shollalloohu 'Alayhi wa Sallam tentang peribadatan beliau, kemudian setelah diterangkan, masing-masing ingin meningkatkan peribadatan mereka. Salah seorang berkata : Adapun saya, akan puasa sepanjang masa tanpa putus. Dan yang lain berkata : Adapun saya akan menjauhi wanita, saya tidak akan kawin selamanya .... Ketika hal itu di dengar oleh Nabi Shollalloohu 'Alayhi wa Sallam, beliau keluar seraya bersabda :
Artinya : “Benarkah kalian telah berkata begini dan begitu, sungguh demi Alloh, sesungguhnya akulah yang paling takut dan taqwa di antara kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan aku berbuka, aku shalat dan aku juga tidur dan aku juga mengawini perempuan. Maka barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, maka ia tidak termasuk golongannku.” [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim].
Orang yang mempunyai akal dan bashirah tidak akan mau menjerumuskan dirinya ke jalan kesesatan dengan hidup membujang. Kata Syaikh Hussain Muhammad Yusuf : “Hidup membujang adalah suatu kehidupan yang kering dan gersang, hidup yang tidak mempunyai makna dan tujuan. Suatu kehidupan yang hampa dari berbagai keutamaan insani yang pada umumnya ditegakkan atas dasar egoisme dan mementingkan diri sendiri serta ingin terlepas dari semua tanggung jawab.”
Orang yang membujang pada umumnya hanya hidup untuk dirinya sendiri. Mereka membujang bersama hawa nafsu yang selalu bergelora, hingga kemurnian semangat dan rohaninya menjadi keruh. Mereka selalu ada dalam pergolakan melawan fitrahnya, kendatipun ketaqwaan mereka dapat diandalkan, namun pergolakan yang terjadi secara terus menerus lama kelamaan akan melemahkan iman dan ketahanan jiwa serta mengganggu kesehatan dan akan membawanya ke lembah kenistaan.
Jadi orang yang enggan menikah baik itu laki-laki atau perempuan, maka mereka itu sebenarnya tergolong orang yang paling sengsara dalam hidup ini. Mereka itu adalah orang yang paling tidak menikmati kebahagian hidup, baik kesenangan bersifat sensual maupun spiritual. Mungkin mereka kaya, namun mereka miskin dari karunia Alloh.
Islam menolak sistem kerahiban karena sistem tersebut bertentangan dengan fitrah kemanusiaan, dan bahkan sikap itu berarti melawan sunnah dan kodrat Alloh Ta'ala yang telah ditetapkan bagi mahluknya. Sikap enggan membina rumah tangga karena takut miskin adalah sikap orang jahil (bodoh), karena semua rezeki sudah diatur oleh Alloh sejak manusia berada di alam rahim, dan manusia tidak bisa menteorikan rezeki yang diakaruniakan Alloh, misalnya ia berkata : "Bila saya hidup sendiri gaji saya cukup, tapi bila punya istri tidak cukup ?!".
Perkataan ini adalah perkataan yang batil, karena bertentangan dengan ayat-ayat Alloh dan hadits-hadits Rosululloh Shollalloohu 'Alayhi wa Sallam. Alloh memerintahkan untuk kawin, dan seandainya mereka fakir pasti Alloh akan membantu dengan memberi rezeki kepadanya. Alloh menjanjikan suatu pertolongan kepada orang yang nikah, dalam firman-Nya :
Artinya : “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin Alloh akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Alloh Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” [An-Nur : 32].
Rosululloh Shollalloohu 'Alayhi wa Sallam menguatkan janji Alloh itu dengan sabdanya :
Artinya : “Ada tiga golongan manusia yang berhak Alloh tolong mereka, yaitu seorang mujahid fi sabilillah, seorang hamba yang menebus dirinya supaya merdeka, dan seorang yang menikah karena ingin memelihara kehormatannya.” [Hadits Riwayat Ahmad 2 : 251, Nasa'i, Tirmidzi, Ibnu Majah hadits No. 2518, dan Hakim 2 : 160 dari shahabat Abu Hurairah Rodhiyalloohu 'Anhu].
Para Salaafus-Sholih sangat menganjurkan untuk nikah dan mereka anti membujang, serta tidak suka berlama-lama hidup sendiri.
Ibnu Mas'ud Rodhiyalloohu 'Anhu pernah berkata : “Jika umurku tinggal sepuluh hari lagi, sungguh aku lebih suka menikah daripada aku harus menemui Alloh sebagai seorang bujangan.” [Ihya 'Ulumuddin dan Tuhfatul 'Arus hal. 20].
Perkawinan bukanlah persoalan kecil dan sepele, tapi merupakan persoalan penting dan besar. 'Aqad nikah (perkawinan) adalah sebagai suatu perjanjian yang kokoh dan suci (mitsaqon gholidhoo), sebagaiman firman Alloh Ta'ala.
"Artinya : “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” [An-Nisaa' : 21].
Karena itu, diharapkan semua pihak yang terlibat di dalamnya, khusunya suami istri, memelihara dan menjaganya secara sunguh-sungguh dan penuh tanggung jawab.
Agama Islam telah memberikan petunjuk yang lengkap dan rinci terhadap persoalan perkawinan. Mulai dari anjuran menikah, cara memilih pasangan yang ideal, melakukan khitbah (peminangan), bagaimana mendidik anak, serta memberikan jalan keluar jika terjadi kemelut dalam rumah tangga, sampai dalam proses nafaqah dan harta waris, semua diatur oleh Islam secara rinci dan detail.
Selanjutnya untuk memahami konsep Islam tentang perkawinan, maka rujukan yang paling sah dan benar adalah Al-Qur'an dan As-Sunnah Shohih (yang sesuai dengan pemahaman Salafus Sholih -pen), dengan rujukan ini kita akan dapati kejelasan tentang aspek-aspek perkawinan maupun beberapa penyimpangan dan pergeseran nilai perkawinan yang terjadi di masyarakat kita.
Tentu saja tidak semua persoalan dapat penulis tuangkan dalam tulisan ini, hanya beberapa persoalan yang perlu dibahas yaitu tentang : Fitrah Manusia, Tujuan Perkawinan dalam Islam, Tata Cara Perkawinan dan Penyimpangan Dalam Perkawinan.
PERKAWINAN ADALAH FITRAH KEMANUSIAAN
Agama Islam adalah agama fithrah, dan manusia diciptakan Alloh Ta'ala cocok dengan fitrah ini, karena itu Alloh Subhanahu wa Ta'ala menyuruh manusia menghadapkan diri ke agama fithrah agar tidak terjadi penyelewengan dan penyimpangan. Sehingga manusia berjalan di atas fitrahnya.
Perkawinan adalah fithrah kemanusiaan, maka dari itu Islam menganjurkan untuk nikah, karena nikah merupakan gharizah insaniyah (naluri kemanusiaan). Bila gharizah ini tidak dipenuhi dengan jalan yang sah yaitu perkawinan, maka ia akan mencari jalan-jalan syetan yang banyak menjerumuskan ke lembah hitam. Firman Alloh Ta'ala.
Artinya : “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Alloh) ; (tetaplah atas) fitrah Alloh yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Alloh. (Itulah) agama yang lurus ; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” [Ar-Ruum : 30].
A. Islam Menganjurkan Nikah
Islam telah menjadikan ikatan perkawinan yang sah berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagi satu-satunya sarana untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang sangat asasi, dan sarana untuk membina keluarga yang Islami. Penghargaan Islam terhadap ikatan perkawinan besar sekali, sampai-sampai ikatan itu ditetapkan sebanding dengan separuh agama. Anas bin Malik Rodhiyalloohu 'Anhu berkata : “Telah bersabda Rosululloh Shollalloohu 'Alayhi wa Sallam :
Artinya : “Barangsiapa menikah, maka ia telah melengkapi separuh dari agamanya. Dan hendaklah ia bertaqwa kepada Alloh dalam memelihara yang separuhnya lagi.” [Hadist Riwayat Thabrani dan Hakim]
B. Islam Tidak Menyukai Membujang
Rosululloh Shollalloohu 'Alayhi wa Sallam memerintahkan untuk menikah dan melarang keras kepada orang yang tidak mau menikah. Anas bin Malik Rodhiyalloohu 'Anhu berkata : “Rosululloh Shollalloohu 'Alayhi wa Sallam memerintahkan kami untuk nikah dan melarang kami membujang dengan larangan yang keras.” Dan beliau bersabda :
Artinya : “Nikahilah perempuan yang banyak anak dan penyayang. Karena aku akan berbanggga dengan banyaknya umatku dihadapan para Nabi kelak di hari kiamat.” [Hadits Riwayat Ahmad dan di shahihkan oleh Ibnu Hibban]
Pernah suatu ketika tiga orang Shohabat datang bertanya kepada istri-istri Nabi Shollalloohu 'Alayhi wa Sallam tentang peribadatan beliau, kemudian setelah diterangkan, masing-masing ingin meningkatkan peribadatan mereka. Salah seorang berkata : Adapun saya, akan puasa sepanjang masa tanpa putus. Dan yang lain berkata : Adapun saya akan menjauhi wanita, saya tidak akan kawin selamanya .... Ketika hal itu di dengar oleh Nabi Shollalloohu 'Alayhi wa Sallam, beliau keluar seraya bersabda :
Artinya : “Benarkah kalian telah berkata begini dan begitu, sungguh demi Alloh, sesungguhnya akulah yang paling takut dan taqwa di antara kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan aku berbuka, aku shalat dan aku juga tidur dan aku juga mengawini perempuan. Maka barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, maka ia tidak termasuk golongannku.” [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim].
Orang yang mempunyai akal dan bashirah tidak akan mau menjerumuskan dirinya ke jalan kesesatan dengan hidup membujang. Kata Syaikh Hussain Muhammad Yusuf : “Hidup membujang adalah suatu kehidupan yang kering dan gersang, hidup yang tidak mempunyai makna dan tujuan. Suatu kehidupan yang hampa dari berbagai keutamaan insani yang pada umumnya ditegakkan atas dasar egoisme dan mementingkan diri sendiri serta ingin terlepas dari semua tanggung jawab.”
Orang yang membujang pada umumnya hanya hidup untuk dirinya sendiri. Mereka membujang bersama hawa nafsu yang selalu bergelora, hingga kemurnian semangat dan rohaninya menjadi keruh. Mereka selalu ada dalam pergolakan melawan fitrahnya, kendatipun ketaqwaan mereka dapat diandalkan, namun pergolakan yang terjadi secara terus menerus lama kelamaan akan melemahkan iman dan ketahanan jiwa serta mengganggu kesehatan dan akan membawanya ke lembah kenistaan.
Jadi orang yang enggan menikah baik itu laki-laki atau perempuan, maka mereka itu sebenarnya tergolong orang yang paling sengsara dalam hidup ini. Mereka itu adalah orang yang paling tidak menikmati kebahagian hidup, baik kesenangan bersifat sensual maupun spiritual. Mungkin mereka kaya, namun mereka miskin dari karunia Alloh.
Islam menolak sistem kerahiban karena sistem tersebut bertentangan dengan fitrah kemanusiaan, dan bahkan sikap itu berarti melawan sunnah dan kodrat Alloh Ta'ala yang telah ditetapkan bagi mahluknya. Sikap enggan membina rumah tangga karena takut miskin adalah sikap orang jahil (bodoh), karena semua rezeki sudah diatur oleh Alloh sejak manusia berada di alam rahim, dan manusia tidak bisa menteorikan rezeki yang diakaruniakan Alloh, misalnya ia berkata : "Bila saya hidup sendiri gaji saya cukup, tapi bila punya istri tidak cukup ?!".
Perkataan ini adalah perkataan yang batil, karena bertentangan dengan ayat-ayat Alloh dan hadits-hadits Rosululloh Shollalloohu 'Alayhi wa Sallam. Alloh memerintahkan untuk kawin, dan seandainya mereka fakir pasti Alloh akan membantu dengan memberi rezeki kepadanya. Alloh menjanjikan suatu pertolongan kepada orang yang nikah, dalam firman-Nya :
Artinya : “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin Alloh akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Alloh Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” [An-Nur : 32].
Rosululloh Shollalloohu 'Alayhi wa Sallam menguatkan janji Alloh itu dengan sabdanya :
Artinya : “Ada tiga golongan manusia yang berhak Alloh tolong mereka, yaitu seorang mujahid fi sabilillah, seorang hamba yang menebus dirinya supaya merdeka, dan seorang yang menikah karena ingin memelihara kehormatannya.” [Hadits Riwayat Ahmad 2 : 251, Nasa'i, Tirmidzi, Ibnu Majah hadits No. 2518, dan Hakim 2 : 160 dari shahabat Abu Hurairah Rodhiyalloohu 'Anhu].
Para Salaafus-Sholih sangat menganjurkan untuk nikah dan mereka anti membujang, serta tidak suka berlama-lama hidup sendiri.
Ibnu Mas'ud Rodhiyalloohu 'Anhu pernah berkata : “Jika umurku tinggal sepuluh hari lagi, sungguh aku lebih suka menikah daripada aku harus menemui Alloh sebagai seorang bujangan.” [Ihya 'Ulumuddin dan Tuhfatul 'Arus hal. 20].
Senin, 10 Mei 2010
Tujuh Dosa Besar Yang Mencelakakan
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اِجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوْبِقَاتِ، قَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللهِ وَمَا هُنَّ؟ قَالَ: اَلشِّرْكُ بِاللهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِيْ حَرَّمَ اللهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأْكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ اْليَتِيْمِ وَالتَّوَلِّيْ يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ اْلغَافِلَاتِ
(صحيح البخاري)
" Jauhilah tujuh dosa besar yang mencelakakan, para sahabat berkata: " apakah itu wahai Rasulullah?", Rasul bersabda: " Syirik (menyekutukan Allah), dan sihir, dan membunuh orang yang dilarang oleh Allah kecuali dengan kebenaran, dan memakan riba, dan memakan harta anak yatim, dan melarikan diri dari peperangan, dan menuduh zina terhadap wanita baik-baik". ( Shahih Al Bukhari )
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
حَمْدًا لِرَبٍّ خَصَّنَا بِمُحَمَّدٍ وَأَنْقَذَنَا مِنْ ظُلْمَةِ الْجَهْلِ وَالدَّيَاجِرِ اَلْحَمْدُلِلّهِ الَّذِيْ هَدَاناَ بِعَبْدِهِ الْمُخْتَارِ مَنْ دَعَانَا إِلَيْهِ بِاْلإِذْنِ وَقَدْ ناَدَانَا لَبَّيْكَ ياَ مَنْ دَلَّنَا وَحَدَانَا صَلَّى اللهُ وَسَلّمَّ وَبَارَكَ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang dengan memuji-Nya terpujilah seorang hamba, segala puji bagi Allah yang dengan memuji-Nya berjatuhanlah dosa, segala puji bagi Allah yang dengan memuji-Nya penuhlah timbangan amal. Alhamdulillah tamla’ulmiizaan, (Shahih Muslim) memuji Allah memenuhi timbangan amal. Karena seluruh hakikat ibadah adalah memuji Allah, hakikat sujud adalah memuji dan mengagungkan Allah, hakikat shalat dan seluruh ibadah adalah pengagungan memuji Rabbul 'alamin. Alhamdulillahi Rabbil 'aalamin, puji kemuliaan dan keluhuran bagi Allah penguasa alam semesta, Maha Tunggal dan Maha Abadi, Maha menyejukkan jiwa hamba-hamba-Nya yang mengingat-Nya, sebagaimana firman-Nya:
الَّذِينَ آَمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
( الرعد: 28 )
"Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram". (QS. Ar Ra'd: 28 )
Ketahuilah bahwa dengan mengingat Allah maka akan tenang jiwa-jiwa orang yang beriman, ketahuilah bahwa dengan mengingat Allah tenanglah sanubari, dan puncak kegundahan terbesar akan lebur dan sirna menjadi kesejukan dan ketenangan dengan mengingat Allah, Maha Raja Tunggal penguasa jagad raya semesta, Yang menciptakan seluruh alam dari tiada, Yang akan menjadikan kehidupan setelah kehidupan, semoga aku dan kalian didalam kebahagiaan dunia dan akhirah, dilimpahi kebahagiaan oleh Sang Pemilik alam rahim, Sang Pemilik alam dunia, Sang Pemilik alam barzakh, Sang Pemilik alam akhirah, siapakah Dia?, Dialah Yang menamakan diri-Nya Al Qariib ( Yang Maha Dekat ), Dialah Yang menamakan diri-Nya Al Ghafuur As Syakuur ( Yang Maha Mengampuni dan Maha Berterimakasih dan membalas jasa ), namun jangan lupa pula bahwa Allah adalah Al Malik Ad Dayyaan ( Maha Raja Yang berhutangbudi seluruh makhluk kepada-Nya), karena kita telah diberi jasad yang sempurna, bisa saja Allah memberikan kepada kita jasad hewan atau jasad tumbuhan, namun Allah memberikan kepada kita jasad manusia. Segala Puji bagi-Mu wahai Allah Yang telah mengelompokkan kami kedalam ummat sayyidina Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, pembawa kedamaian dan kebahagian dan keluhuran dunia dan akhirah, diriwayatkan didalam Shahih Al Bukhari bahwa ketika Rasul shallallahu 'alaihi wasallam melewati seorang wanita yang sedang ziarah kubur dan menangis di kuburan itu, maka Rasul bersabda:
اِتَّقِي اللهَ وَاصْبِرِيْ
" Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah "
Maka wanita itu menghardiknya dan berkata: " engkau tidak mendapatkan musibah seperti aku, maka diamlah !!", sang nabi yang pemaaf dan berhati mulia, manusia yang paling sopan dan ramah pun terdiam dan sabar, kemudian meninggalkan wanita itu, itulah Muhammad Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Kemudian datanglah seseorang kepada wanita itu dan berkata: " Taukah engkau siapa yang telah kau bentak tadi ?", maka wanita itu menjawab: "ia seseorang yang menasihati aku karena ia tidak mendapat musibah seperti aku" , orang itu berkata: " dia adalah Muhammad Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam", maka wanita itu menangis dan menjerit meninggalkan pemakaman dan mengejar sang nabi, dan ketika itu nabi Muhammad telah masuk ke dalam rumahnya, ketika wanita itu sampai di rumah sang nabi ia berlutut dan berkata: "maafkan aku wahai Rasulullah", sang nabi hanya tersenyum seraya bersabda:
إِنَّمَا الصَّبْرُ فِي الصَّدْمَةِ الْأُوْلَى
"Sesungguhnya sabar itu dipermulaan musibah"
Jika ingin bersabar hendaknya dari tadi sehingga tidak perlu meminta maaf, demikian perkataan Rasul shallallahu 'alaihi wasallam. Alangkah indahnya sayyidina Muhammad. Diriwayatkan ketika sang nabi didatangi oleh seorang wanita miskin dan wanita itupun gemetar karena kewibawaan sang nabi, sayyidul awwaliin wal akhiriin rahmatan lil 'alamin, wajah yang paling berlemah lembut dan paling bercahaya dari semua wajah, wajah yang dikatakan oleh salah seorang sahabat ketika ditanya " bagaimana wajahnya Rasulullah? ", maka ia menjawab: " aku tidak pernah betul-betul mengangkat kepala dihadapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, maka aku tidak mampu menyifatkannya dengan jelas ". Ketika wanita itu gemetar maka sang nabi berkata: " tenangkan dirimu jangan gemetar, aku adalah utusan Allah , jika engkau tidak ingin datang kesini menemuiku maka panggillah aku, aku akan datang dimanapun engkau berada". Demikian indahnya sang nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam wabaaraka 'alaihi wa 'alaa alih.
Hadirin hadirat yang dimuliakan Allah
Allah subhanahu wata'ala berfirman:
إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ ، وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا ، فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا
( النصر : 1-3 )
"Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat". ( QS. An Nashr: 1-3 )
Ketika telah datang waktunya pertolongan Allah dan kemenangan, yaitu tanda bahwa Islam akan mencapai kemenangan. Dan ayat ini turun beberapa bulan sebelum Fath Makkah, sebagai isyarat kepada sang nabi bahwa Fath Makkah akan segera terbit dan terjadi. Ketika ayat ini turun maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menyampaikan khutbah, diantara isi khutbah itu adalah: "dipilihkan untuk seseorang antara hidup di dunia atau di sisi Allah, maka ia memilih di sisi Allah", maka menjerit dan menangislah khalifah Abu Bakr As Shiddiq RA dan beberapa orang sahabat, para sahabat yang lain saling memandang dan heran karena Rasul hanya berkata: "bahwa dipilihkan untuk seseorang antara hidup di dunia atau di sisi Allah, maka ia memilih di sisi Allah" mengapa Abu Bakr dan sebagian sahabat menjerit dan menangis?!, karena hal itu adalah tanda mulai dekat waktu wafatnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, dan tidak lama kemudian setelah Fath Makkah maka sang nabi pun wafat. Dan semoga semakin dekat pula Fath Jakarta bagi kita, amin ya rabbal 'alamin.
Hadirin hadirat yang dimuliakan Allah
Sampailah kita pada hadits agung, yang telah disabdakan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:
اِجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوْبِقَاتِ، قَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللهِ وَمَا هُنَّ؟ قَالَ: اَلشِّرْكُ بِاللهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِيْ حَرَّمَ اللهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأْكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ اْليَتِيْمِ وَالتَّوَلِّيْ يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ اْلغَافِلَاتِ
(صحيح البخاري)
" Jauhilah tujuh dosa besar yang mencelakakan, para sahabat berkata: " apakah itu wahai Rasulullah?", Rasul bersabda: " Syirik (menyekutukan Allah), dan sihir, dan membunuh orang yang dilarang oleh Allah kecuali dengan kebenaran, dan memakan riba, dan memakan harta anak yatim, dan melarikan diri dari peperangan, dan menuduh zina terhadap wanita baik-baik". ( Shahih Al Bukhari )
Tujuh dosa besar yang membawa kecelakaan dan membawa musibah serta kemurkaan Ilahi. Yang pertama Syirik yaitu menyembah selain Allah, namun siapapun yang menyembah selain Allah jika ia bertaubat maka diterima taubatnya oleh Allah. Sebagian orang mengatakan (karena kesalahfahaman) bahwa dosa yang tidak diampuni oleh Allah adalah menyembah selain Allah, memang betul jika orang itu tidak bertaubat tetapi jika ia bertaubat maka ia diampuni oleh Allah subhanahu wata'ala. Namun dosa-dosa yang lain jika tidak menyembah selain Allah, itu akan mendapatkan pengampunan Allah kelak walaupun terlambat, tetapi kalau syirik (menyekutukan Allah) maka ia tidak diampuni Allah kecuali jika ia sudah bertaubat, karena tidak ada satu dosa pun yang tidak pupus dengan taubat. Kedua adalah Sihir, yang merupakan dosa besar. Banyak sekali pertanyaan yang muncul kepada saya di forum website, email, surat dan lainnya tentang bagaimana hukumnya sihir?, jelas sudah bahwa sihir adalah dosa besar karena sihir itu memperbudak atau mempertuan syaitan atau jin untuk membawa celaka atau musibah bagi orang lain. Hubungan yang dilarang antara manusia dengan jin ada dua hal yaitu memperbudaknya dan mempertuannya, kalau bersahabat dengan jin tidak ada larangannya dalam syariah dan dalam semua madzhab. Karena dijelasakan oleh para Ulama kita bahwa jin juga ummat nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, sebagaimana firman Allah:
قُلْ أُوْحِيَ إِلَيَّ أَنَّهُ اسْتَمَعَ نَفَرٌ مِنَ الْجِنِّ فَقَالُوا إِنَّا سَمِعْنَا قُرْآَنًا عَجَبًا ، يَهْدِي إِلَى الرُّشْدِ فَآَمَنَّا بِهِ وَلَنْ نُشْرِكَ بِرَبِّنَا أَحَدًا
( الجن :1-2 )
" Katakanlah (hai Muhammad): "Telah diwahyukan kepadaku bahwasanya telah mendengarkan sekumpulan jin (akan Al Qur'an), lalu mereka berkata: Sesungguhnya kami telah mendengarkan Al Qur'an yang menakjubkan, (yang) memberi petunjuk kepada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya. Dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seorangpun dengan Tuhan kami ". ( QS. Al Jin: 1-2 )
Di ayat yang lain dalam surah Al Jinn juga disebutkan:
وَأَنَّا مِنَّا الصَّالِحُونَ وَمِنَّا دُونَ ذَلِكَ كُنَّا طَرَائِقَ قِدَدًا
( الجن : 11 )
" Dan sesungguhnya di antara kami (ucapan ara jin) ada yang saleh dan di antara kami ada (pula) yang tidak demikian halnya, Kami menempuh jalan yang berbeda-beda ". ( QS. Al Jin: 11 )
Dan firman Allah dalam ayat yang lain :
وَأَنَّهُ لَمَّا قَامَ عَبْدُ اللَّهِ يَدْعُوهُ كَادُوا يَكُونُونَ عَلَيْهِ لِبَدًا
( الجن : 19 )
" Dan bahwasanya tatkala hamba Allah (Muhammad) berdiri menyembah-Nya (mengerjakan ibadah), hampir saja jin-jin itu desak mendesak mengerumuninya ". ( QS. Al Jin: 19 )
Jadi yang dilarang adalah memperbudak jin atau mempertuannya, sedangkan bersahabat dengan jin tidak ada larangannya namun tidak ada pula perintahnya. Oleh sebab itu para ulama' tetap pada posisinya bahwa bersahabat dengan jin tidak ada larangannya dan tidak ada perintahnya. Kalau bersahabat dengan manusia ada perintahnya dan itu merupakan sunnah nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. Namun jin juga ummat nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam sebagian dari mereka yang beriman. Hadirin hadirat, sihir adalah perbuatan para dukun untuk mencelakakan dan merugikan orang lain dengan memperbudak atau mempertuan jin, maka itu merupakan perbuatan dosa besar, termasuk juga ramalan, maka jangan tertipu, zaman sekarang orang-orang justru membayar untuk mendapatkan dosa besar, misalnya ikut ramalan di SMS tentang rizki atau yang lainnya, rizkimu jangan sampai engkau pasrahkan pada SMS, karena rizkimu adalah dari Allah subhanahu wata'ala. Barangkali karena kita kirim SMS ramalan seperti itu dan mengeluarkan biaya 1000, 2000, atau 5000 hanya jumlah kecil tetapi bisa jadi Allah akan menutup jutaan rizki kita karena Allah subhanahu wata'ala melihat hamba-Nya telah memasrahkan takdirnya kepada SMS, lebih percaya pada SMS daripada kepada Allah. Maka jauhilah hal itu, jangan sampai harta kita terlibat dalam hal itu. Demikian pula Rasul shallallahu 'alaihi wasallam memberi penjelasan kepada kita agar kita tidak terus ketakutan dengan hal-hal yang syirik (menduakan Allah), karena Rasul shallallahu 'alaihi wasallam bersabda riwayat Shahih Al Bukhari:
أَنِّيْ لَسْتُ أَخْشَى عَلَيْكُمْ أَنْ تُشْرِكُوْا بَعْدِيْ وَلِكِنْ أَخْشَى عَلَيْكُمُ الدُّنْيَا أَنْ تَنَافَسُوْا فِيْهَا
" Sesungguhnya aku tidak khawatir terhadap kalian akan syirik, tetapi aku khawatir (terhadap kalian) akan dunia dan kalian saling berlomba didalamnya "
Jika seseorang sudah Muslim maka jangan risau akan jatuh pada perbuatan syirik, karena tidak semua yang dikatakan oleh sebagian saudara kita tentang hal yang syirik itu adalah syirik, tapi karena kejahilan mereka terhadap syariah maka mereka mengatakannya syirik. Banyak pula pertanyaan muncul kepada saya tentang pusaka-pusaka, bagaimana hukumnya, dan menyimpan barang-barang para shalihin apakah hal itu diperbolehkan?. Hadirin hadirat, Al Qur'an telah menjelaskan kemuliaanya, bukan lagi hadits. Allah subhanahu wata'ala berfirman:
وَقَالَ لَهُمْ نِبِيُّهُمْ إِنَّ آيَةَ مُلْكِهِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ التَّابُوتُ فِيهِ سَكِينَةٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَبَقِيَّةٌ مِّمَّا تَرَكَ آلُ مُوسَى وَآلُ هَارُونَ تَحْمِلُهُ الْمَلآئِكَةُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَةً لَّكُمْ إِنْ كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
( البقرة: 248 )
" Dan Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun; tabut itu dibawa oleh malaikat. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda bagimu, jika kamu orang yang beriman". ( QS. Al Baqarah: 248 )
Thalut diperintah oleh Allah melalui nabi untuk menjadi pemimpin melawan raja Jalut di masanya. Maka Thalut dicela oleh rakyatnya karena tidak memiliki apa-apa( harta). Maka Allah subhanahu wata'ala mendatangkan Tabut yaitu satu peti yang didalamnya terdapat benda-benda peninggalan nabi Harun dan nabi Musa. Dan tanda kekuasaan Thalut yaitu akan datang padanya peti yang berisi benda-benda peninggalan nabi Musa dan nabi Harun yang membawa ketenangan untuk mereka. Renungkan firman Allah:
فِيْهِ سَكِيْنَةٌ
" Didalamnya (tabut) terdapat ketenangan "
Apakah benda-benda itu?, buka seluruh kitab tafsir maka semua menjelaskan bahwa benda-benda itu adalah pakaian nabi Musa, tongkat nabi Musa, sandal nabi Harun, dan lainnya, ada apa dengan benda-benda itu?!. Benda yang disentuh oleh para shalihin dan para nabi tidak disia-siakan oleh Allah subhanahu wata'ala. Sebagaimana Rasul shallallahu 'alaihi wasallam berdoa di maqam Ibrahim di hadapan Ka'bah. Rasul berdoa di tempat nabi Ibrahim berdoa, padahal jarak antara Nabi Muhammad dan nabi Ibrahim ribuan tahun yang lalu, namun Rasul shallallahu 'alaihi wasallam shalat di tempat itu, tempat nabi Ibrahim pernah berdoa, tanah bekas pijakan nabi Ibrahim. Para shalihin terdahulu tidak dilupakan oleh nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. Beliau melakukan shalat di tempat itu, maka Allah tetapkan dengan firman-Nya:
وَاتَّخِذُوْا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيْمَ مُصَلَّى
( البقرة: 125 )
" Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat ". ( QS. Al Baqarah: 125 )
Jadi, barang pusaka atau peninggalan para shalihin itu bukan untuk dipertuan atau diagungkan atau untuk disembah, bukan untuk dijadikan mempunyai kekuatan untuk merubah takdir, tetapi karena menghargai barang-barang para shalihin terdahulu adalah sesuatu yang telah dijalankan pada ummat saat ini dan ummat sebelumnya dan juga didukung oleh Al qur'an Al Karim.
Hadirin hadirat yang dimuliakan Allah
Lalu bagaimana jika dimandikan dengan air kembang?, boleh-boleh saja karena zaman dulu belum ada sabun maka menggunakan air kembang, kalau zaman sekarang boleh dengan sabun untuk mewangikannya dan melindunginya dari karat agar tidak rusak, tapi jangan menganggap bahwa benda-benda itu bisa mengubah takdir Allah subhanahu wata'ala. Sebagaimana sayyidina Umar bin Khattab Ra saat mencium Hajar Aswad beliau berkata:
إِنَّكَ حَجَرٌ لَا تَضُرُّ وَلَا تَنْفَعُ لَوْلَا قَبَّلَكَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَا قَبَّلْتُكَ
" Sesungguhnya kau adalah batu yang tidak memberi mudharat dan manfaat, kalau bukan karena Rasulullah telah menciummu maka aku tidak akan menciummu "
Batu tidak lebih dari batu, tidak bisa membawa bahaya dan manfaat, tetapi setelah dicium oleh sayyidina Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam maka semua orang berebutan untuk mencium Hajar Aswad, karena menjadi sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
Hadirin hadirat, dan bagaimana caranya menangani sihir? banyak dzikir-dzikir nabawy yang meruntuhkan sihir. Kalau di rumah ada sihir yang tidak bisa dikalahkan, sihir atau syaitan dan jin tidak mau keluar terus saja mengganggu di rumah itu, maka bacakan surah Al Baqarah di rumah itu, surah Al Baqarah adalah surah terpanjang dalam Alquran dan hampir mencapai 3 juz, maka bagikan untuk beberapa orang agar membacanya di dalam rumah tersebut, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam: " Rumah yang dibacakan di dalamnya surah Al Baqarah maka tidak akan dimasuki syaitan". (shahih Muslim)
Hadirin hadirat, yang ketiga adalah Membunuh seseorang kecuali dengan kebenaran. Maksudnya adalah membela diri. Memebela diri sehingga orang yang ingin mencelakai terbunuh maka hal ini tidak dilarang dalam syariah, atau karena mempertahankan nyawa kita, harta kita, atau masyarakat kita, misalnya diserang dan kita membela diri hingga terbunuh orang yang menyerang kita, maka hal itu adalah kebenaran. Tetapi sengaja membunuh adalah salah satu diantara tujuh dosa besar, demikian sabda Rasul shallallahu 'alaihi wasallam. Yang keempat adalah makan hal yang riba, wal'iyadzu billah. Allah subhanahu wata'ala berfirman:
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
( البقرة: 275 )
" Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaithan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya ". ( QS. Al Baqarah: 275 )
Kelak di hari kiamat orang-orang yang memakan riba, mereka akan berdiri dengan bergetar dan berguncang seakan-akan mereka dirasuki oleh syaitan, karena mereka telah memakan riba di masa hidupnya, dan mereka berkata ketika di dunia bahwa jual beli itu sama saja seperti riba. Riba adalah perdagangan atau jual beli yang mengandung bunga. Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (bunga yang berlipat). Dan barangsiapa yang berhenti dari memakan riba maka Allah subhanahu wata'ala akan memaafkan dan mengampuninya, dan semua dosa yang pernah ia perbuat akan kembali kepada Allah Yang Maha Pemaaf, dan barangsiapa yang tetap melakukannya maka ia akan sampai kedalam api neraka dan kekal didalamnya. Rasul shallallahu 'alaihi wasallam bersabda bahwa: "orang yang memakan riba maka di hari kiamat ia berada di sungai darah", demikian riwayat Shahih Al Bukhari. Muncul banyak pertanyaan kepada saya tentang bagaimana hukumnya riba di masa kini?, tentunya hukumnya tidak berubah tetapi jauhilah semampunya dan Allah tidak memaksa kita melebihi dari kemampuan kita. Misalnya ada yang bekerja di BANK Konvensional bagaimana hukumnya?, tentunya terlibat riba. Tetapi jika ia menanggung nafkah yang primer dan jika ia berhenti bekerja maka akan membawa mudharat yang lebih besar lagi maka boleh saja pekerjaan itu diteruskan tapi jangan pernah berhenti berjuang untuk mencari pekerjaan lain, terus berjuang mencari pekerjaan lain dan ketika menemukannya maka langsung pindah, jika terjebak dalam nafkah yang primer yang mana jika pekerjaan itu ditinggalkan akan membawa mudharat yang lebih besar lagi, kelaparan, kematian, pencurian atau hal yang lebih buruk lagi . Oleh sebab itu diantara kita yang terjebak dalam pekerjaan yang mengandung bunga maka hati-hatilah dan saran saya terus mencari pekerjaan lain, begitu ada maka segera pindah jangan terus bertahan. Kita di akhir zaman ini pastilah selalu terjebak dalam perbuatan riba yang mana perdagangan pasti kesemuanya melewati Bank Konvensional, namun yang sangat membuat kita gembira saat ini sudah mulai banyak Bank Konvensioanl yang membuka Bank Syariah, BCA sudah merencanakan Bank Syariah, BNI dan lainnya, semua Bank Konvensional telah membuat Bank Syariah. Hal ini menunjukkan bahwa kita dibantu oleh Allah subhanahu wata'ala untuk mengarah kepada bebas dari riba, karena Bank Syariah bebas dari riba sedangkan Bank Konvensional secara mutlak terdapat riba di dalamnya. Maka berhati-hatilah terhadap riba ini, dan berusahalah semampunya namun Allah tidak memaksa melebihi dari kemampuan kita. Dan jika tidak mampu lagi untuk meninggalkannya, maka jangan berprasangka buruk kepada Allah, Sang Maha Pemaaf tetap pemaaf, jangan berhenti berdoa agar dilepaskan dari jebakan-jebakan dunia dan dibebaskan menuju kemakmuran di dunia dan akhirah, Dialah ( Allah ) Yang memiliki kemakmuran dunia dan akhirah.
Hadirin hadirat, yang kelima adalah memakan harta anak yatim. Hal ini sudah masyhur dan tidak perlu lagi saya perjelas banyak, hanya saya ingin menukil sedikit bahwa banyak diantara saudara-saudari kita yang membuat acara santunan anak yatim, hal ini sangat mulia namun hati-hati orang yang menyumbang itu, jika ia keluarkan uangnya untuk menyantuni anak yatim maka jangan sampai masuk kedalam perut orang yang selainnya, santunan anak yatim tapi juga ada tamu-tamu selain mereka dan kemudian diberi makan dari santunan anak yatim itu, ingat itu harta milik anak Yatim tanpa ia sadari, jika anak Yatim itu tidak ridha maka ia masuk kedalam dosa ini tanpa ia sadari, maka berhati-hatilah, yang menyantuni anak yatim boleh-boleh saja, tapi disebutkan dan diperjelas, misalnya untuk santunan anak yatim sekian,,konsumsi sekian,,untuk menyambut tamu sekian..dan lainnya. Jadi orang yang mengeluarkan uang tau bahwa itu tidak hanya menyantuni anak yatim saja, tetapi ada biaya untuk menyambut tamu, biaya untuk panggung dan lain sebagainya, jadi uang yang mereka keluarkan tidak 100 % untuk santunan anak yatim, demikian hadirin yang perlu kita waspadai. Yang keenam adalah melarikan diri dari peperangan, yaitu saat peperangan membela Islam, membela negara dan bangsa, membela rakyat, membela wilayah kita, disaat itu ia melarikan diri karena menyelamatkan dirinya, maka ia terkena dosa besar. Maka jangan melarikan diri ketika kita atau wilayah dan negara kita diserang oleh musuh. Dan yang terakhir (Ketujuh) adalah menuduh wanita baik-baik melakukan zina, hati-hati jangan sampai kita terjebak dalam hal ini, jangan sembarang menuduh berzina pada wanita baik-baik, misalnya melihat seorang wanita dan lelaki berjalan ke suatu tempat sepi dan mengatakan " mereka itu berzina ", hati-hati kata-kata itu adalah dosa besar. Jika tidak ada 4 orang saksi yang betul-betul menyaksikan persetubuhannya maka hal itu adalah "menuduh wanita baik-baik melakukan zina", yang itu adalah termasuk dosa besar. Al Imam Ibn Hajar Al Asqalany di dalam Fathul Bari bisyarh Shahih Al Bukhari mensyarahkan bahwa wanita yang baik-baik lantas dituduh berbuat zina, barangkali wanita atau pria yang berbuat hal-hal yang melanggar syariah tapi tidak sampai pada perbuatan zina, maka jangan dikatakan berzina karena hal itu dosa besar, demikian saudara saudariku yang kumuliakan. Ketahuilah bahwa Allah subhanahu wata'ala Maha menyambut hamba-hamba-Nya ketika mereka ingin memperbaiki diri, Allah subhanahu wata'ala Maha menyambut dengan hangat jiwa-jiwa yang ingin dekat kepada-Nya, sambutan Rabbul 'alamin akan agung di dunia dan akhirah. Kita berdzikir bersama, bersyukur kepada Allah atas semua kenikmatan. Dan sebelum kita berdzikir, saya ingin memberikan hadiah kepada dua orang saudara kita dari Ransiki, mohon bapak dari Ransiki untuk berdiri agar semua bisa menyaksikan dan mendoakan, beliau ini akan berpisah dengan kita, besok akan kembali ke Papua Irin Barat. Ayahanda kita ini sudah 1 bulan di Jakarta untuk belajar syariah disini, belajar cara berwudhu, belajar shalat, belajar mengaji, belajar cara mengimami shalat, untuk mereka berdakwah nanti di wilayah Ransiki, dan merekalah yang memperjuangkan kedatangan santri-santri dari Ransiki, mereka berkata biarlah kami meninggal asalkan anak-anak bisa berangkat ke Jakarta, inilah perjuangan mereka . Saya akan menghadiahkan kepada mereka rida' (sorban), besok atau lusa mereka akan meninggalkan Jakarta, semoga dilimpahi keberkahan oleh Allah subhanahu wata'ala, semoga panji Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam akan dibawa oleh mereka ke wilayah mereka, semoga Allah memberi kekuatan kepada mereka untuk mengajarkan syariah disana, disana banyak muslimin muslimat yang tidak mengetahui cara berwudhu, tidak mengetahui cara shalat, tidak mengetahui cara berpuasa, dan mereka datang ke Jakarta dan duduk di Majelis ini dan tidak peduli usia mereka sudah lanjut, namun semangat juang mereka mewarisi semangat sayyidina Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, mereka akan kembali dan semoga kelak menjadi imam-imam besar di Ransiki Irian Barat, amin allahumma amin. Kita bermunajat kepada Allah dan tasyakuran dengan ucapan guru mulia kita, ketika mendengar bahwa pimpinan bangsa kita, Bapak Presiden dan Wakil Presiden, para menteri dan juga aparat keamanan, Kapolda Metrojaya dan juga massa yang sangat banyak berkumpul dan berdzikir bersama di Monas di hari 12 Rabi'ul Awal, beliau mengatakan : " Fath, Insyaallah dalam waktu dekat kemenangan akan sampai kepada kita", Jakarta menjadi kota kedamaian sayyidina Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. Kita bermunajat kepada Allah subhanahu wata'ala mengangkat tangan penuh dosa, mengharap pengampunan dari Yang Maha mengampuni, semoga Allah subhanahu wata'ala melimpahkan kepada kita kebahagiaan, ketenangan, kedamaian, pengabulan hajat, disingkirkan dari segala musibah diganti dengan kebahagiaan, dan keluasan, disingkirkan dari segala kesempitan, dilimpahi kemudahan dan dijauhkan dari kegundahan untuk masyarakat Jakarta, dan juga masyarakat Papua, dan seluruh muslimin di barat dan di timur..
فَقُوْلُوْا جَمِيْعًا
Ucapkanlah bersama-sama
يَا الله...يَا الله... ياَ الله.. ياَرَحْمَن يَارَحِيْم ...لاَإلهَ إلَّاالله...لاَ إلهَ إلاَّ الله مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. كَلِمَةٌ حَقٌّ عَلَيْهَا نَحْيَا وَعَلَيْهَا نَمُوتُ وَعَلَيْهَا نُبْعَثُ إِنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى مِنَ اْلأمِنِيْنَ
Langganan:
Postingan (Atom)